CIREBON – Surat Permohonan Penindakan yang dilayangkan Badan Kepegawaian dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) kepada Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) terkait adanya indikasi ketidaksesuaian pelaksanaan mutasi/rotasi pada 7 Juni 2017 mulai ditindaklanjuti DPRD Kabupaten Cirebon.
Terlihat, Selasa (11/7) saat Komisi I memanggil Mantan Kepala BKPSDM selaku penandatangan surat, Drs H Kalinga MM untuk dimintai keterangan perihal dilayangkannya surat yang dimaksud.
Untuk diketahui, pada 5 Juni 2017, BKPSDM melayangkan sebuah surat dengan nomor 005/1427.1/BKPSDM kepada KASN dengan perihal permohonan penindakan.
Isi surat itu sendiri terdapat enam poin yang diantaranya berisikan pelaksanaan rotasi/mutasi jabatan khususnya untuk jabatan Pimpinan Tinggi Pratama (Eselon II) tanpa dilandasi proses dan prosedur sebagaimana ketentuan dalam Undang-Undang tentang ASN, Permen PANRB.
Serta pengabaian isyarat larangan dalam Surat Ketua Komisi ASN nomor B-1430/KASN/2017 tanggal 17 Mei 2017 perihal permohonan rekomendasi dan persetujuan.
Bukan hanya itu saja, dalam surat tersebut juga dijelaskan, apabila proses rotasi/mutasi tanggal 7 juni itu sendiri tidak melibatkan BKPSDM sebagai instansi yang berwenang mengelola kepegawaian serta tidak berdasarkan pertimbangan dan persetujuan pejabat berwenang.
Yakni, Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat). Termasuk adanya indikasi kuat intimidasi dalam pembebasan jabatan terhadap beberapa JPT Pratama, administrator dan pengawas.
Dalam rapat yang ikut dihadiri mantan Sekretaris BKPSDM, Jajang Sofyan serta Kepala Bidang Mutasi BKPSDM, Sri Darmanto tersebut, Kalinga menyebutkan adanya ketidaksesuaian antara pelaksanaan rotasi/mutasi dengan aturan yang berlaku.
Walaupun, surat permohonan yang dilayangkan itu sampai saat ini belum diketahui apakah sudah dibalas atau belum oleh KASN.
“Saya tidak mengetahui apakah sudah ada balasan atau belum karena saya sendiri sudah dipindahkan. Silahkan tanyakan ke Pak Sri Darmanto yang masih di BKPSDM,” ujar Kalinga kepada Komisi I.
Kalinga enggan berkomentar lebih jauh terkait pertemuan tersebut. Saat wartawan coba mewawancarai usai pertemuan, Kalinga memilih untuk langsung meninggalkan gedung DPRD.
“Saya sudah jelaskan semua kepada Komisi I. Entah sah atau tidaknya (pelaksanaan mutasi, red) itu sih terserah. Yang jelas, saya lihat telah terjadi tindakan menyalahi aturan. Sehingga kala itu saya mengirimkan surat kepada Ketua Komisi ASN per tanggal 5 Juni 2017,” ungkapnya.
Sementara itu, Ketua Komisi I, Junaedi ST menyampaikan, pertemuan yang dilakukan pihaknya dengan yang bersangkutan tak lain untuk mengklarifikasi dengan adanya surat tembusan ke pihaknya yang ditandatangani dan dilayangkan Kalinga kepada Ketua Komisi ASN pada 5 Juni 2017 sewaktu Kalinga masih menjabat Kepala BKPSDM.
“Yang intinya isi surat tersebut menyampaikan, bahwa proses mutasi, rotasi, maupun promosi yang akan dilakukan pada 7 Juni 2017 itu tidak sesuai aturan. Sehingga beliau (Kalinga, red) perlu menyampaikan surat ini harapannya supaya bisa dicegah sebelum dilakukan mutasi,” kata Junaedi menyampaikan hasil penjelasan Kalinga dalam pertemuan tersebut.
Ia melanjutkan, hasil keterangan dari Kalinga sendiri, dalam proses mutasi tersebut terdapat keterlibatan mantan Kasi di BKPSDM Kabupaten Cirebon, Sri Darmanto. Maka kata dia, dalam kesempatan itu, Sri Darmanto pun dipanggil pihaknya untuk mengetahui benar atau tidaknya isi surat dengan proses mutasi yang sesungguhnya.
“Dan hasil keterangan dari Pak Sri sendiri belum banyak lah yang bisa kami ambil. Sehingga nanti akan dipanggil anggota Baperjakat yang lain. Mungkin Pak Sekda dan atau Pak Asisten, setelah itu kami rencanakan ke Komisi ASN untuk menanyakan tindaklanjut dari surat ini seperti apa?,” kata Junaedi.
Lebih lanjut disampaikannya, dalam mutasi yang dilakukan pada 7 Juni 2017, Komisi I DPRD Kabupaten Cirebon menilai, jika dilihat dari hasil mutasi tersebut banyak yang tidak sesuai aturan.
Seperti, kata dia, untuk eselon II normatifnya dilakukan mutasi itu didasarkan oleh beberapa hal. Di antaranya, lanjut Junaedi, yakni menimbang waktunya yang bisa dilakukan minimalnya ketika sudah menjabat selama dua tahun.
“Kemudian masalah latar belakang, seorang eselon II itu menjabat kepala OPD atau SKPD harus mempunyai pengalaman 2-5 tahun di bidangnya. Nah ini banyak yang menyalahi aturan, termasuk terdapat satu jabatan yang diduduki oleh dua pejabat, sehingga sementara kami ada link antara fakta hasil dengan laporan ini,” kata Junaedi. (yog)