MAJALENGKA – Bupati Majalengka Dr H Sutrisno SE MSi belum lama ini meragukan data warga miskin di Kabupaten Majalengka yang dihimpun Badan Pusat Statistik (BPS). Kini giliran Kepala Dinas Pendidikan (Kadisdik) Majalengka juga meragukan keakuratan data milik BPS.
Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Majalengka, Drs H Iman Pramudya Subagja MM mengatakan, selama ini BPS tidak pernah melibatkan Dinas Pendidikan untuk mendata jumlah anak yang tidak sekolah. Bahkan, pihaknya pun mempertanyakan seperti apa metode yang dipakai oleh BPS dalam mengumpulkan data.
“Selama ini, yang jadi rujukan oleh Kemendikbud adalah data dari BPS. Katanya ada sekitar 5 ribu anak yang putus atau tidak sekolah. Akan tetapi kenyataannya di lapangan kan ketika kami cek tidak ada sebanyak itu. Jangan main-main loh, jumlah tersebut artinya 40 persen dari jumlah anak di Majalengka tidak sekolah,” ujar Iman, Kamis (2/3).
Tidak hanya Dinas Pendidikan, kata dia, Dinas Kesehatan pun mengalami hal yang sama. Rencana kedepan, sesuai himbauan Bupati, pihaknya akan memvalidasi kebenaran data tersebut. Nantinya akan diterjunkan tim untuk mengumpulkan data dari mulai jenjang SD hingga SMP.
“Kami bisa lihat di desa-desa juga banyak bantuan yang tidak tepat sasaran. Karena data yang diperoleh tidak akurat. Dimana banyak warga mampu yang menerima bantuan dari pemerintah. Jadi jelas BPS jangan asal-asalan dalam membuat data,” tandasnya.
Menurut Iman, tingginya angka yang dirilis Kemendikbud diperkirakan karena terjadi penafsiran yang keliru terhadap data yang diberikan BPS yang menyangkut pengertian putus sekolah. Menurutnya, yang dimaksudkan putus sekolah adalah apabila seseorang siswa tidak menamatkan atau keluar dari sekolah pada jenjang pendidikan tertentu. Misalnya, keluar di kelas V SD, atau keluar di kelas VII SMP atau jenjang lainnya.
Sedangkan bila seseorang siswa, kata dia, setelah menamatkan jenjang tertentu. Seperti tamat SD, SMP dan tamat SMA. Kemudian yang bersangkutan tidak melanjutkan lagi pendidikannya ke jenjang berikutnya termasuk dalam pengertian angka melanjutkan dan Partisipasi Sekolah (APS). “Ini kan perlu dibedakan datanya jangan asal diglobalkan begitu saja,” ujarnya.
Sebelumnya, Bupati Majalengka Dr H Sutrisno SE MSi meragukan akurasi data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) terkait masih tingginya angka kemiskinan di Kabupaten Majalengka. Data BPS perlu dikaji kembali jika hendak dipakai sebagai rujukan program pemerintah.
\"Bukan diragukan tapi perlu dikaji kembali, kita lihat perkembangan dari cara mereka mengumpulkan data. Itu kan hanya dari laporan kepala desa yang belum tentu seperti sebenarnya,\" tandasnya.
Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Majalengka, Drs H Iman Pramudya Subagja MM mengatakan, selama ini BPS tidak pernah melibatkan Dinas Pendidikan untuk mendata jumlah anak yang tidak sekolah. Bahkan, pihaknya pun mempertanyakan seperti apa metode yang dipakai oleh BPS dalam mengumpulkan data.
“Selama ini, yang jadi rujukan oleh Kemendikbud adalah data dari BPS. Katanya ada sekitar 5 ribu anak yang putus atau tidak sekolah. Akan tetapi kenyataannya di lapangan kan ketika kami cek tidak ada sebanyak itu. Jangan main-main loh, jumlah tersebut artinya 40 persen dari jumlah anak di Majalengka tidak sekolah,” ujar Iman, Kamis (2/3).
Tidak hanya Dinas Pendidikan, kata dia, Dinas Kesehatan pun mengalami hal yang sama. Rencana kedepan, sesuai himbauan Bupati, pihaknya akan memvalidasi kebenaran data tersebut. Nantinya akan diterjunkan tim untuk mengumpulkan data dari mulai jenjang SD hingga SMP.
“Kami bisa lihat di desa-desa juga banyak bantuan yang tidak tepat sasaran. Karena data yang diperoleh tidak akurat. Dimana banyak warga mampu yang menerima bantuan dari pemerintah. Jadi jelas BPS jangan asal-asalan dalam membuat data,” tandasnya.
Menurut Iman, tingginya angka yang dirilis Kemendikbud diperkirakan karena terjadi penafsiran yang keliru terhadap data yang diberikan BPS yang menyangkut pengertian putus sekolah. Menurutnya, yang dimaksudkan putus sekolah adalah apabila seseorang siswa tidak menamatkan atau keluar dari sekolah pada jenjang pendidikan tertentu. Misalnya, keluar di kelas V SD, atau keluar di kelas VII SMP atau jenjang lainnya.
Sedangkan bila seseorang siswa, kata dia, setelah menamatkan jenjang tertentu. Seperti tamat SD, SMP dan tamat SMA. Kemudian yang bersangkutan tidak melanjutkan lagi pendidikannya ke jenjang berikutnya termasuk dalam pengertian angka melanjutkan dan Partisipasi Sekolah (APS). “Ini kan perlu dibedakan datanya jangan asal diglobalkan begitu saja,” ujarnya.
Sebelumnya, Bupati Majalengka Dr H Sutrisno SE MSi meragukan akurasi data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) terkait masih tingginya angka kemiskinan di Kabupaten Majalengka. Data BPS perlu dikaji kembali jika hendak dipakai sebagai rujukan program pemerintah.
\"Bukan diragukan tapi perlu dikaji kembali, kita lihat perkembangan dari cara mereka mengumpulkan data. Itu kan hanya dari laporan kepala desa yang belum tentu seperti sebenarnya,\" tandasnya.
Data Raskin di BPS Keliru
Sementara itu, wacana Pemerintah Kabupaten Majalengka terkait pendistribusian Beras Miskin (Raskin) oleh pihak ketiga atau agen kembali dikritik masyarakat dan aparatur pemerintahan desa. Hal tersebut, mengingat masih banyaknya data Rumah Tangga Sasaran (RTS) penerima manfaat raskin yang dihimpun oleh Badan Pusat Statistik (BPS) terdapat data yang belum akurat.
Masyarakat beralasan kalau rencana tersebut direalisasikan dalam waktu dekat bakal memicu konflik di masyarakat bawah. Dari penuturan ketua forum komunikasi Kuwu Kecamatan Sumberjaya, Dudung Abdullah Yasin mengaku, sudah mengusulkan kepada Bupati Majalengka, Dr H Sutrisno SE MSi agar leading sektor terkait segera memverifikasi data RTS di Majalengka.
\"Semua sudah kami sampaikan ke pak Bupati. Karena Kami juga mendapat masukan dan keluhan dari masyarakat maupun sejumlah kepala desa beserta perangkatnya terkait rencana program ini. Apalagi, beberapa bulan kedelapan disinyalir akan segera terealisasi,\" tandasnya.
Senada dengan Dudung, Kaur Kesra Desa Panjalin Lor, Sanudi mengatakan, sebelum ditetapkan program ini diharapkan instansi terkait di Pemda Majalengka menyosialisasikan ke tingkat desa. Pihaknya, khawatir timbul masalah pada warga. Apalagi bagi sejumlah desa yang akan menyelenggarakan Pilkades serentak.
\"Kami minta harusnya ada sosialisasi dulu sebelum ditetapkan program ini. Apalagi bagi desa Panjalin Lor yang beberapa bulan akan dilaksanakan Pilkades serentak,\" tegasnya, Kamis (2/3). Dijelaskan Sanudi, masyarakat berharap agar pihak terkait sudah mencari beberapa pihak ketiga atau agen didesanya menjelang ditetapkannya program tersebut.
Artinya, dalam waktu dekat program ini bakal segera terwujud. Namun, sejumlah warga yang akan menjadi penyalur Raskin banyak yang tidak mau seiring efek yang terjadi kedepannya yang akan menimbulkan gejolak.
Pihaknya menyebutkan, dari total RTS pada data sebelumnya 481 orang namun ada perubahan berdasarkan verifikasi pihak BPS menjadi 393 RTS. Perubahan tersebut dikarenakan ada yang sudah meninggal.
\"Dari jumlah hak pilih sekitar 4 ribu orang dan 2.300 KK seharusnya ada verifikasi data ulang. Karena masih banyak yang belum memiliki Kartu Keluarga dan tidak masuk pada RTS. Memang lambat laun warga pasti tahu tentang program ini tetapi meski harus ada sosialisasi terlebih dulu. Program ini terkesan mengorbankan pemerintahan desa,\" ujarnya.
Mengantisipasi adanya gejolak kepada masyarakat bawah, pihaknya sudah menyampaikan ke setiap RT dan ketua RW. Selama ini ada tiga distributor yang sudah didaftarkan namun tidak mau. Karena khawatir ada permasalahan muncul di masyarakat bawah meski kedepannya setiap warga yang memiliki kartu miskin pasti dapat.
“Kami tidak khawatir kalau data tentang warga kategori miskin itu valid. Tentunya harus verifikasi data ulang tentang program ini. Salah satunya ketika ada pendataan diharapkan desa dilibatkan,” imbuhnya.(hsn)