Kyai Madrais dari Cigugur Kuningan, Ajarannya Dianggap Menyimpang, Gunakan Kain Kafan Hitam dan Melawan Ajal

Kyai Madrais dari Cigugur Kuningan, Ajarannya Dianggap Menyimpang, Gunakan Kain Kafan Hitam dan Melawan Ajal

Kyai Madrais dan sisa-sisa ajarannya yang masih ada di tengah masyarakat. --

RAKYATCIREBON.ID, KUNINGAN - Madrais diberi nama oleh kakeknya Muhamad Rais. Mengenyam pendidikan Pondok Pesantren namun tenggelam dalam ilmu mistik.

Pangeran Madrais atau Kyai Madrais memiliki nama Sadewa Alibasa Koesoema Widjayaningrat. Konon merupakan keturunan Sunan Gunungjati dari garis Keraton Gebang.

Madrais adalah penyederhanaan dari nama Muhamad Rais, nama yang diberikan kakeknya.

Meski disebut keturunan Keraton Gebang di Cirebon Timur, namun Madrais tinggal dengan ibunya di Cigugur, Kabupaten Kuningan.

Kelak setelah memiliki banyak pengikut, nama Madrais lebih dikenal.

Suatu catatan menarik diungkapkan dalam buku 'SPANNING A REVOLUTION Kisah Mohamad Bondan, Eks-Digulis, dan Pergerakan Nasional Indonesia' terbitan Yayasan Obor Indonesia.

Disebutkan dalam buku tersebut, bahwa Madrais di kemudian hari mengesahkan statusnya sebagai pengeran dengan gelar Pangeran Alibasyah Wijayakusumah.

Ada beberapa versi mengenai tahun lahirnya Pangeran Madrais. Dalam catatan resmi Paseban Cigugur disebutkan, Madrais lahir pada tahun 1822.

Adapun, Pemerintah Hindia-Belanda mencatat bahwa Madrais lahir pada tanggal 9 bulan Mulud tahun 1859.

Madrais lahir dari seorang ibu bernama Nyi Kastewi sedangkan ayahnya, Pangeran Sutajaya Alibassa Kusumah Wijayaningrat.

Laman historyofcirebon.id menyebutkan, bahwa sejak kanak-kanak Madrais telah dimasukan oleh kakeknya ke pesantren untuk menimba ilmu agama.

Madrais kecil yang cerdas kemudian sangat tertarik dengan ilmu agama Islam. Kelak dia berkelana ke sejumlah pesantren untuk menimba ilmu agama.

Namun, pada masa remaja, minat belajar Madrais teralihkan. Spiritualis asal Cigugur, Kabupaten Kuningan, ini lebih tertarik dengan ajaran mistik yang pada masa itu berkembang di pesantren-pesantren di tanah Jawa.

Dia pun tertarik dengan ajaran-ajaran spiritual yang berkembang di masyarakat yang diyakini sebagai warisan leluhur.

Setelah dewasa, dia kembali ke Cigugur mendirikan padepokannya sendiri.

Pengikutnya pun semakin banyak. Tidak hanya dari Kuningan. Banyak yang datang dari wilayah lain di Jawa Barat.

Ajaran Kiyai Madrais terus berkembang. Namun semakin lama, semakin banyak pihak yang menilai ajarannya telah jauh menyimpang dari ajaran Islam.

Madrais mengajarkan kepada murid-muridnya ilmu mistik dan kebatinan.

Ajaran Kiyai Madrais yang dinilai menyimpang antara lain menggunakan kain kafan hitam bagi orang yang meninggal.

Dia juga mengajarkan kepada murid-muridnya untuk mengucapkan kalimat "Wajoh Lawan" yang artinya "Ayo Lawan" ketika menghadapi sakaratul maut.

Ucapan itu mengandung tujuan atau harapan untuk menahan ajal. Maka, para ulama semakin resah. Kemudian menghukumi ajaran Kiyai Madrais sebagai ajaran sesat.

Setelah dihukumi sesat oleh para ulama, Madrais kemudian menyatakan diri keluar dari Islam. Dia kemudian mencetuskan Agama Djawa Sunda.

Tahun 1926, Agama Djawa Sunda diakui sebagai agama resmi oleh Pemerintah Hindia-Belanda.

Dia pun tertarik dengan ajaran-ajaran spiritual yang berkembang di masyarakat yang diyakini sebagai warisan leluhur.(*)

Sumber: