Ketika Anwar Usman Hadiri Rapat Permusyawaratan Hakim, Beberapa Hakim MK Mendadak Berubah Pandangan

Ketika Anwar Usman Hadiri Rapat Permusyawaratan Hakim, Beberapa Hakim MK Mendadak Berubah Pandangan

Hakim Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman.--

RAKYATCIREBON.ID, JAKARTA - Keputusan sidang Mahkamah Konstitusi (MK) membuat publik bereaksi. Keptusan MK dianggap memuluskan jalan Gibran Rakabuming Raka menunju calon wakil presiden mendampingi Prabowo.

Wacana Gibran Rakabuming Raka sebagai bacawapres ini kian terbuka. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) sudah memberi ruang.

MK mengabulkan gugatan yang diajukan warga Solo, Almas Tsaqibbirru. Mahkamah memberikan pengecualian usia 40 tahun bagi sosok yang berpengalaman di jabatan hasil elected officials untuk maju. Yakni kepala daerah, DPD, hingga DPR/DPRD.

Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur, menyatakan bahwa putusan MK kemarin sudah menjadi kekhawatiran bagi Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Demokratis.

Sebab, isu yang berkembang sebelum putusan itu dibacakan sudah mengarah pada upaya-upaya memberikan jalan bagi figur tertentu agar bisa turut andil dalam pemilu tahun depan.

Isnur menyampaikan beberapa hal yang dinilai aneh dan janggal dalam putusan kemarin. Dimulai dari legal standing pemohon.

Menurut dia, MK biasanya sangat ketat dalam urusan legal standing. Namun, dalam putusan kemarin, itu tidak tampak. Isnur menyebut, MK sangat longgar melihat legal standing pemohon.

”Ini mahasiswa yang bahkan dia bukan pemerintah daerah, menguji, tapi dikabulkan begitu legal standing-nya," beber dia.

Kemudian, Isnur juga mengkritik rasionalitas yang dipakai oleh MK dalam putusan kemarin. Dia menilai, rasionalitas yang digunakan oleh MK tidak berdasar.

”Dan ini menunjukkan gejala MK bagian dari mahkamah kekuasaan,” ujarnya.

Meski dikabul, putusan tersebut tidak diputus secara bulat. Tiga hakim memutus mengkabulkan adalah Guntur Hamzah, Manahan Sitompul, dan Anwar Usman.

Empat hakim dissenting opinion yakni Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Arief Hidayat dan Suhartoyo. Serta dua hakim Occuring Opinion (kabul tapi beda alasan) yakni Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic.

Dalam pertimbangannya, hakim MK Guntur Hamzah mengatakan, batas usia capres/cawapres tidak diatur secara jelas oleh UUD 1945. Dalam perkembangannya, syarat usia sudah beberapa kali diubah.

Dia menerengkan, guna memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada generasi muda, Guntur menyebut sudah semestinya syarat tidak hanya secara tunggal. Namun juga mengakomodir syarat lain. Yang terpenting, dapat menunjukkan kelayakan dan kapasitas seseorang.

"Dalam rangka meningkatkan kualitas demokrasi karena membuka peluang putera puteri terbaik bangsa untuk lebih dini berkontestasi dalam pencalonan," ujarnya saat membacakan salah satu pertimbangan.

Terkait syarat pada jabatan hasil elected officials, MK berpendapat jabatan itu telah memenuhi syarat derajat minimal kematangan dan pengalaman. Karena terbukti pernah mendapat kepercayaan masyarakat atau kepercayaan negara.

MK juga membeberkan besarnya jumlah penduduk yang berada di rentang usia dewasa namun di bawah usia 40 tahun. Di rentang usia 30-39 tahun saja, terdapat setidanya 43,02 juta penduduk.

Hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan calon-calon pemimpin generasi muda yang besar.

"Secara a contrario, adanya batasan syarat Presiden dan Wakil Presiden berusia minimum 40 tahun berpotensi merugikan hak konstitusional generasi muda," terangnya.

Adapun dua hakim yang bersikap Occuring Opinion memiliki perbedaan pendapat pada level kepala daerah yang memenuhi syarat.

Mereka menilai, semestinya kepala daerah yang memenuhi syarat adalah gubernur. Mengingat Gubernur berada di level pemerintahan lebih dekat dengan pusat.

Sementara itu, empat hakim yang berpendapat dissenting opinion menegaskan pengaturan usia syarat cawapres merupakan kebijakan hukum terbuka atau open legal policy. Sehingga tidak bisa ditambah embel-embel lainnya.

Hakim MK Saldi Isra mengkritik para hakim lainnya yang tidak konsisten. Mengingat dalam waktu yang belum lama, mahkamah sudah secara tegas menolaknya.

"Baru kali ini saya mengalami peristiwa aneh yang luar biasa dan dapat dikatakan jauh dari batas penalaran yang wajar," tegas Saldi.

Saldi menerangkan, perubahan sikap MK sejatinya merupakan hal biasa. Namun, tidak pernah berubah secepat ini. Itupun, biasanya perubahan didasarkan pada fakta baru.

"Pertanyaannya, fakta penting apa yang telah berubah di tengah masyarakat sehingga Mahkamah mengubah
pendiriannya?," jelasnya.

Dalam kesempatan itu, Saldi juga membeberkan keanehan dalam proses Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH).

Dalam RPH tanggal 19 September 2023 untuk memutus Perkara Nomor 29, 51, 55/PUU-XXI/2023 yang tidak dihadiri Anwar Usman, enam Hakim Konstitusi sepakat menolak permohonan dan tetap memosisikan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 sebagai kebijakan hukum terbuka.

Namun dalam RPH selanjutnya yang dihadiri Anwar dalam membahas perkara Nomor 90-91/PUU- XXI 2023, beberapa hakim yang sama berubah pandangan dalam menilai Pasal 169 huruf q UU 7/2017. Tiba-tiba, muncul ketertarikan dengan model alternatif yang dimohonkan di dalam petitum Perkara Nomor 90.

"Secara faktual, perubahan komposisi Hakim yang memutus dari delapan menjadi sembilan tidak hanya sekadar membelokkan pertimbangan dan amar putusan, tetapi membalikkan 180 derajat amar putusan," jelasnya.(*/fajar/rakcer)

Sumber: