Kebijakan Cuti Melahirkan 6 Bulan : Menjadi Kabar Baik Atau Kabar Buruk Bagi Wanita Karir, Simak Jawabann

Kebijakan Cuti Melahirkan 6 Bulan : Menjadi Kabar Baik Atau Kabar Buruk Bagi Wanita Karir, Simak Jawabann

Kebijakan Cuti Melahirkan 6 Bulan : Menjadi Kabar Baik Atau Kabar Buruk Bagi Wanita Karir, Simak Jawabann-Foto: Pinterest.com-rakyatcirebon.disway.id

Jakarta,Rakcer.id – Peraturan terkini yang diteken oleh Presiden Joko Widodo mengenai Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak menjanjikan hak cuti melahirkan minimum tiga bulan, yang dapat diperluas hingga enam bulan bagi pekerja wanita di Indonesia.

Rasa optimisme sudah mulai terasa seiring dengan dimungkinkannya pengasuhan anak menjadi lebih intensif selama fase krusial pertama mereka.

Namun, di balik terobosan positif ini, terdapat risiko negatif yang tidak dapat diabaikan. Kebijakan cuti melahirkan tersebut mungkin ikut meningkatkan diskriminasi terhadap wanita di lingkungan kerja.

Pekerja perempuan, sebagaimana dijelaskan oleh undang-undang, mempunyai hak istimewa tersebut, yang pada praktiknya sayangnya seringkali memunculkan bias dan prasangka stereotip gender.

Bayangkan ketika dua kandidat dengan kualifikasi yang setara bersaing untuk satu posisi; salah satunya, perempuan yang baru saja menikah.

Tanpa mempertimbangkan aspek lainnya, perusahaan akan lebih cenderung memilih laki-laki, hanya karena kekhawatiran akan cuti melahirkan yang panjang yang mungkin akan diambil oleh kandidat perempuan.

UU ini juga menjelaskan bahwa cuti untuk sang ayah saat istrinya melahirkan adalah dua hari, dengan kemungkinan penambahan cuti hingga maksimum tiga hari berikutnya.

Hal ini membuat jarak yang besar dalam pertanggungjawaban dan hak-hak yang terkait dengan pengasuhan anak di antara kedua gender.

Sebagai upaya mengatasi diskriminasi yang bertumpu pada gender dan memberikan dukungan untuk kesetaraan di tempat kerja, Indonesia dapat mengambil inspirasi dari kebijakan negara Nordik seperti Swedia

yang menyediakan "parental leave" selama 480 hari yang dapat dibagi antara kedua orang tua dengan syarat bagi tiap-tiap orang tua untuk mengambil minimal 90 hari.

Hal ini memberikan kesempatan yang setara bagi kedua orang tua untuk terlibat dalam pengasuhan anak mereka hingga usia 12 tahun.

Kebijakan yang mempromosikan kesetaraan hak cuti, seperti di Swedia, tidak hanya membuka peluang bagi upaya pengurangan bias gender, tapi juga mendukung lingkungan kerja yang ramah keluarga dan keseimbangan pekerjaan-hidup yang lebih baik.

Lebih dari 80% perusahaan yang memberikan cuti orang tua mengungkap dampak positifnya terhadap motivasi kerja karyawan dan peningkatan produktivitas menurut penelitian dari Ernst & Young.

Sementara Indonesia belum tentu harus menyalin persis kebijakan Swedia, namun upaya untuk menciptakan ayunan kesempatan yang seimbang bagi kedua gender bisa menjadi langkah awal untuk meminimalisir bias gender dan mendukung semangat kesetaraan pemenuhan laki-laki dan perempuan dalam dunia kerja dan kehidupan rumah tangga.

Sumber: