Pj Bupati Cirebon Terkejut, Ada Dugaan Pungutan Biaya Pembuatan Dokumen Kontrak di DPUTR

Pj Bupati Cirebon Terkejut, Ada Dugaan Pungutan Biaya Pembuatan Dokumen Kontrak di DPUTR

AKUI. Pj Bupati Cirebon, Wahyu Mijaya mengaku kaget mendengar adanya dugaan pembiayaan pembuatan dokumen kontrak di DPUTR. FOTO : ZEZEN ZAENUDIN ALI/RAKYAT CIREBON--

RAKYATCIREBON.ID, CIREBON – Penjabat (Pj) Bupati Cirebon, Wahyu Mijaya, terkejut mendengar informasi adanya dugaan pungutan liar (pungli) dalam proses pembuatan dokumen kontrak di Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (DPUTR) Kabupaten Cirebon.

Wahyu menyatakan akan segera memanggil Kepala DPUTR, Iwan Rizki, untuk mengklarifikasi kebenaran kabar tersebut. "Saya baru tahu ada informasi terkait biaya pembuatan dokumen kontrak di DPUTR. Jika ini benar, jelas tidak boleh terjadi. Ini sudah termasuk pungli," ujar Wahyu pada Selasa, 8 Oktober 2024.

Wahyu menjelaskan bahwa DPUTR bukanlah dinas yang bertugas menghasilkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Oleh karena itu, kabar mengenai biaya yang mencapai miliaran rupiah setiap tahunnya perlu dipertanyakan.

Jika uang tersebut benar adanya, mustahil masuk ke kas daerah karena sumber pendapatan asli daerah (PAD) yang masuk ke APBD sudah diatur jelas.

"Saya terkejut mendengar bahwa nilai biaya tersebut bisa mencapai miliaran rupiah per tahun. Ini sangat tidak masuk akal kalau masuk APBD. Saya akan memanggil Kepala DPUTR untuk menjelaskan detailnya," tambahnya.

Sementara itu, pegiat anti-korupsi Kabupaten Cirebon, Ade Riyaman, turut mengkritik praktik pungutan tersebut. Menurut Ade, hasil dari pembuatan dokumen kontrak di DPUTR perlu dipertanyakan, terutama karena DPUTR bukan dinas yang menghasilkan PAD.

Ia mengaku prihatin terhadap sistem yang diterapkan di DPUTR, di mana rekanan proyek seolah dipaksa mengikuti aturan tidak tertulis tersebut demi mempertahankan kerjasama dengan dinas.

"Saya dengar, tahun ini biaya pembuatan dokumen kontrak mengalami kenaikan. Untuk proyek di bawah Rp 200 juta, dikenakan biaya sekitar Rp 3,5 juta. Sementara untuk proyek di atas Rp 1 miliar, bisa mencapai Rp 5 juta hingga Rp 8 jutaan," ungkap Ade.

Ade menegaskan, jika pihak DPUTR ingin transparan, seharusnya berkonsultasi dengan Inspektorat agar ada aturan hukum yang jelas terkait pungutan tersebut. Dengan demikian, biaya yang dikeluarkan oleh rekanan dapat dimasukkan ke PAD, sehingga lebih terukur dan memiliki dasar hukum.

"Jika ini dikelola dengan benar dan masuk PAD, Pemkab Cirebon akan diuntungkan. Semua pihak tentu akan mendukung kebijakan ini jika diatur secara resmi," tambahnya.

Namun, Ade menyoroti bahwa saat ini penggunaan uang hasil pungutan tersebut tidak jelas. Ia menduga uang tersebut digunakan untuk kepentingan pribadi, dan menegaskan akan membawa masalah ini ke ranah hukum.

"Saya akan mengawal masalah ini hingga tuntas. Jangan sampai uang dari pembuatan dokumen kontrak dibagi-bagi untuk kepentingan pribadi," tegasnya.

Hingga berita ini diturunkan, Sekretaris DPUTR Kabupaten Cirebon, Tomi Hendrawan, belum memberikan komentar terkait dugaan pungli tersebut. (zen)

Sumber: