Rumah Tergusur, Belasan Warga Kampung Kebonsari Semarang Minta Tolong Jokowi

Rumah Tergusur, Belasan Warga Kampung Kebonsari Semarang Minta Tolong Jokowi

RAKYATCIREBON.ID, SEMARANG - Sebanyak 15 Warga Kampung Kebonsari, Kelurahan Bangunharjo, Semarang mengharapkan keadilan atas rumahnya yang tergusur dan mengirimkan surat terbuka kepada Presiden Jokowi. Berikut isi suratnya.

SURAT TERBUKA KEPADA PRESIDEN RI TENTANG PENGGUSURAN PAKSA PEMUKIMAN WARGA JL. PLAMPITAN KP. KEBONSARI RT. 04 RW. 03, KELURAHAN BANGUNHARJO, KECAMATAN SEMARANG TENGAH, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH

Kepada Yth. Presiden RI Bapak Joko Widodo
di Jakarta

Semarang,       21 Maret 2022

Perihal : Permohonan Keadilan
Lamp : 22 Bendel

Dengan hormat,

Atas dasar :

a. Penyerahan mandat Bapak Presiden RI kepada Kepolisian (Kapolri) dan atau Menteri Agraria tentang perintah pemberantasan mafia tanah yang ada di Negeri ini (tanah kami salah satunya)
b. Ketentuan Pasal 1 Ayat (1) dan Pasal 5 Keputusan Presiden RI No. 32 Tahun 1979 tentang Tanah Negara
c. Undang-Undang Agraria Pasal 35 UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
d. Putusan kasasi Nomor 685 K/Pdt/2018 tertanggal 20 Maret 2019 (yang dimenangkan oleh salah satu warga kami yang bernama Hadi Santoso) (terlampir)
e. Putusan peninjauan kembali Reg No. 434 PK/Pdt/2020 (Penolakan Pengajuan PK atas Pemilik HGB.34) (terlampir)
f. Putusan PT. TUN No. 225/B/2021/PT.TUN-SBY (yang dimenangkan oleh salah satu warga kami yang bernama Hadi Santoso) (terlampir)
g. Bukti Surat Kepemilikan atas Rumah serta Hak Penguasaan Tanah Negara oleh 3 orang dari 15 warga Kebonsari (tereksekusi)

  1. SHM No 00223 Th 2009 a/n Hadi Santoso (terlampir)
  2. SHM No. 105 Th 1998 a/n Ong Sing Tjwan (terlampir)
  3. SHGB No. 00390 Th 2015 a/n Deny Kurniawan (Soewito) (terlampir)
  4. Dan beberapa surat/dokumen lain yang masih warga punya (banyak yang hilang sewaktu terjadi eksekusi) (terlampir)

h. Dugaan/indikasi adanya KKN atas instansi-instansi terkait dengan kasus kami. Dalam hal ini kami mohon untuk menyidik/memeriksa serta menindak apabila hal tersebut terbukti sesuai dengan perjalanan hukum yang kami tempuh.

i. Hasil Putusan Hukum/Pengadilan yang menurut pendapat kami tidak adanya keselarasan hukum dengan fakta yang ada dilapangan dan tidakadanya keadilan serta perlindungan hak-hak atas penguasaan tanah negara beserta rumah yang sudah kami tempati lebih dari 100 tahun. Sejak tahun 1898 s.d 2016 (Lihat Riwayat / Dokumen Warga) (terlampir)
j. Atas dasar-dasar tersebut diatas, kami warga Kebonsari Plampitan yang merupakan satu kesatuan dari 15 warga yang tereksekusi atas hak tanah seluas 2.757 m2 untuk menjadi acuan dan pertimbangan dalam mencapai keadilan serta perlindungan hak-hak Warga Negara Indonesia.

Atas dasar dan bukti-bukti serta penjelasan tersebut diatas, dengan ini kami selaku 15 orang warga Jl. Plampitan Kampung Kebonsari RT. 04 RW. 03, Kelurahan Bangunharjo, Kecamatan Semarang Tengah, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, memohon keadilan dan peninjauan kembali perkara kami yang kehilangan tempat tinggal di tanah Negara yang telah kami tempati sejak tahun 1898 – 2016, baik di lapangan maupun dari segi hukum yang berlaku.

Kami terusir dari tempat yang kami tinggali pada tahun 2016 lalu tanpa kompensasi, padahal dulunya moyang kami sejak tahun 1898, menyewa tanah partikelir milik Kokoh Liem Hing Ien di Kampung Kebonsari di Jalan PLampitan Semarang itu, untuk dijadikan tempat tinggal dan moyang kami juga membanguan sendiri rumah-rumah tinggalnya dan kemudian diwariskan kepada kami hingga digusur pada 2016 silam.

Bapak Presiden yang bijaksana, menurut kami banyak kejanggalan dan manipulasi hukum yang sarat dengan KKN sehingga kami terusir dari sana, untuk itulah kami selaku Warga Negara Indonesia yang dilindungi hukum maka kami mohon keadilan serta penyelesaian masalah perampasan atau pengusiran kami dari tanah dan bangunan yang telah kami tempati lebih dari 100 tahun itu, dengan tahu-tahu keluarnya SHGB (Sertifikat Hak Guna Bangunan ) No. 34 yang sudah mati dan tidak dapat diperpanjang lagi.

Bapak Presiden, kami juga telah melakukan upaya hukum untuk memperjuangkan hak-hak kami,
namun keadilan belum berpihak kepada kami sehingga dengan segala kerendahan hati dan atas dasar rasa peri kemanusiaan yang adil dan beradab, kami mohon agar Bapak Presiden mau menaungi kami selaku rakyat Indonesia, karena kami terusir tanpa ganti rugi atas rumah yang diratakan dengan alat berat saat terjadinya eksekusi pada 2016 lalu.
Untuk lebih jelasnya, berikut kronologisnya :

  • Pada tahun 1898, moyang kami telah menempati tanah sewa (tanah partikelir) di Kampung Kebonsari di Jl. PLampitan Semarang milik Koh Liem Hing Ien.
  • Beberapa tahun kemudian, karena tanah sewa untuk bangunan itu telah menjadi perkampungan, maka antara tanah perkampungan itu dengan yang ditempati Koh Liem Hing Ien, dibuatkan tembok pembatas (gambar terlampir).
  • Selanjutnya pada tahun 1908, kepemilikan tanah sudah beralih ke pemilik baru yaitu Tan Goen Soei. Pemilik terakhir ini mendirikan sebuah yayasan yang bernama “Societeit Hwa You Hwee1 Wan”, dan kepada yayasan inilah terakhir kami membayar uang sewa.
  • Pada tahun 1958, karena yayasan tersebut terlibat dalam Gerakan G.30.S.PKI (yayasan ekslusif), maka saat itu juga gedung milik yayasan tersebut diambil alih oleh TNI dan dijadikan asrama TNI. Ini jelas menunjukkan bahwa tanah itu adalah tanah negara.
  • Saat TNI membangun asramanya itu, rumah-rumah penduduk/warga tidak diusik atau tidak ada perubahan. Kemudian karena itu sudah menjadi tanah negara, maka sejak tahun 1960an, kami sudah tidak lagi membayar uang sewa kepada yayasan tersebut karena juga sudah tidak ada lagi penagihan terhadap kami, baik dari yayasan itu ataupun dari pihak lainnya.
  • Perihal munculnya SHGB No. 34 atas nama Suwendro (ikut tergugat I) itu, kami tidak mengetahuinya dan jusru kami pertanyakan kenapa tiba-tiba tanah tersebut bisa muncul SHGB itu, padalah warga tidak pernah dimintai persetujuan atau adanya pengukuran tanah untuk keperluan penerbitan SHGB tersebut.
  • Sesuai Pasal 35 UU No. 5 Tahun 1960, tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, seharusnya kamilah yang lebih berhak mempunyai SHGB karena moyang kami yang mempunyai bangunan di atas tanah itu.
    Jika pun seandainya ada SHGB atas nama pihak lain, seharusnya ada persetujuan dari pihak kami selaku pemilik bangunan, hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961, tentang Pendaftaran Tanah.
  • Pada tanggal 24 September 1980, Sertifikat HGB No. 34 itu telah berakhir masa berlakunya dan tidak dapat diperpanjang lagi, serta telah diblokir oleh saudara M. Basri selaku kuasa hukum warga Kampung Kebonsari.
  • Kemudian sebelum SHBG itu diblokir, telah diupayakan pemecahan tanah yang mempunyai luas keseluruhan 7.867 m2 oleh pemilik SHGB No. 34 saudara Suwendro, menjadi 4 bagian yaitu :
  1. Tanah seluas 1.677 m2 dan telah terbit SHGB No. 57/Sukolilo a.n. Hadi Susanto, salah satu dari 15 warga Jl. Plampitan Kampung Kebonsari RT. 04 RW. 03, Kelurahan Bangunharjo.
  2. Tanah seluas 1.756 m2, telah terbit SHGB No. 58/Sukolilo a.n. Soegiarti
  3. Tanah seluas 1.677 m2, terbit SHGB No. 59/Sukolilo a.n. Taerjono Mangkusasmito
  4. Dan tanah seluas 2.757 m2, yang sebelumnya ditempati warga Jl. Plampitan Kampung Kebonsari RT. 04 RW. 03, Kelurahan Bangunharjo, sebelum direnggut paksa haknya.
    Warga tidak dapat dimohonkan Sertifikat HGB sampai dengan berakhirnya SHGB No. 34, dan ironisnya kemudian telah terblokir serta tidak dapat dilakukan perpanjangan lagi.
  • Kami juga menemukan beberapa kejanggalan dalam persidangan di Pengadilan Negeri Semarang, diantaranya sebagai berikut :
  • Kami telah menempati dan menggunakan tanah/rumah selama lebih dari 100 tahun secara turun temurun, akan tetapi tiba-tiba keluar SHGB yang sudah mati dan tidak dapat diperpanjang lagi, namun tetap dinyatakan sah.
  • SHGB Baru (pecahan), bukanlah sebagai penganti dari SHGB No. 34 yang telah mati itu, namun merupakan SHGB yang dimatikan dan telah dibalik nama sehingga SHGB No. 34 tidak ada penggantinya
  • Bahwa di luar lokasi pemilik SHGB mati tersebut telah dibatasi/berdiri tembok pembatas antara warga Kebonsari Plampitan dengan pemilik Hotel Plampitan dengan SHGB No. 34. Juga adanya batasan fasilitas umum (fasum) dan fasilitas sosial (fasos) milik pemerintah/umum (jalan kampung dan gapura), sehingga hotel dengan SHGB No. 34 itu tidak menyatu dengan rumah-rumah warga Kebonsari Plampitan
  • Di lokasi rumah-rumah warga Kebonsari Plampitan, tidak ada asrama atau mess karyawan hotel sebagaimana disebutkan oleh pihak Penggugat (pemilik SHGB No. 34) dalam gugatannya.
  • Adanya saksi-saksi palsu.
  • Bahwa saksi yang bernama saudara Mardi Wibowo dan Bejo Sugianto, disinyalir sebagai saksi palsu karena mereka bukan warga Kampung Kebonsari dan tidak pernah tinggal disana sehingga dari keterangannya di pengadilan jauh dari fakta sebenarnya.
  • Pengadilan Negeri Semarang telah gagal melaksanakan sita eksekusi karena ukuranya tidak sesuai sebagaimana dalam gugatannya.
  • Kemudian pada tanggal 16 April 2016, 15 rumah warga Kampung Kebonsari yang bersebelahan dengan Hotel Plampitan Semarang itu diratakan dengan alat berat, setelah gugatan sengketa lahan dimenangkan oleh Bambang Nugroho selaku anak pemilik hotel itu.
  • Sampai dengan saat ini, masih berdiri gapura Kampung Kebonsari yang merupakan fasum/fasos. Ada apakah gerangan kenapa tidak berani dibongkar.
  • Andai SHGB No. 34 masih berlaku, kenapa bisa terbit SHGB/SHM lain dengan lokasi yang sama dan keabsahannya terjamin.
  • Menurut kami, semua itu menjadi pertanyaan dan perlu pembuktian secara adil sesuai keadilan yang sesungguhnya.
  • Kami warga Kampung Kebonsari Plampitan, juga telah melakukan upaya hukum banding (kasasi), namun keadilan belum berpihak kepada kami sehingga kami curiga dengan adanya permainan hukum yang terindikasi KKN yang menguasai kasus kami.

Atas semua penjelasan kami inilah maka kami sangat berharap kepada Bapak Presiden sebagai bapaknya rakyat Indonesia untuk bisa melindungi anak-anaknya dari oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab.

Demikian permohonan ini kami buat, dengan harapan dikembalikannya hak kami berupa bangunan yang dirobohkan paksa, serta hak kami untuk menempati tanah negara itu sesuai dengan Undang-undang yang ada.

Sumber: