Anggota DPRD Tersandung Pidana Sulit Dapatkan Hak Imunitas

Anggota DPRD Tersandung Pidana Sulit Dapatkan Hak Imunitas

RAKYATCIREBON.ID – Jika seseorang anggota DPRD tersandung kasus pidana, maka dapat dipastikan akan sulit untuk mendapatkan hak imunitasnya. Hal ini didasarkan pada ketentuan perundang-undangan. Berbeda apabila ada kaitannya dengan tugas, fungsi, dan wewenangnya sebagai wakil rakyat di legislatif.

Akademisi yang juga Dekan Fakultas Hukum pada Universitas Wiralodra Indramayu, Syamsul Bahri Siregar SH MH mengatakan, hak imunitas yang dipertanyakan terhadap salah satu anggota DPRD Indramayu yang tersandung dugaan kasus pidana, menurutnya sangat sulit didapatkan. Pada tahun 2014 ditetapkan Undang-undang Nomor 17 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3). Di dalamnya ada klausul yang menyebutkan anggota DPRD memiliki hak imunitas. Hanya saja hak imunitas itu hanya terkait pada tugas, fungsi, dan wewenangnya.

“Maknanya di dalam persidangan atau di luar persidangan yangg ada korelasi dengan tugas, fungsi, dan kewenangannya. Di luar itu tidak ada. Seperti tindak pidana, ya prosesnya berjalan seperti biasa,” jelasnya, Kamis (7/10).

Terkait tugas, fungsi, dan wewenang itu, lanjutnya, misalkan yang bersangkutan menyampaikan pendapat atau pemikirannya dalam sidang dan melakukan hal apapun.Termasuk menjelek-jelekkan siapaun, itu ada hak imunitas yang bisa didapatkan. “Seperti mengucapkan yang tidak lazim atau membanting kursi saat agenda rapat dewan misalnya, itu tidak bisa dipidana. Misalnya seperti itu,” kata dia.

Disampaikan, penting pula untuk memaknai hak imunitas dalam UU MD3 dicabut oleh UU Pemda 23/2014. Namun disebut lagi dengan frasa yang sama, dialih supaya tidak tumpang tindih tapi maknanya sama. “Isi frasa tidak ada kaitannya dengan pidana, hanya sebatas tugas, fungsi,wewenang. Itu yang diproteksi,” sebutnya.

Syamsul mencontohkan, sebuah kasus anggota legislatif tersandung kasus pidana jika tidak salah sebut pernah terjadi di Lampung. Bersamaan dengan proses penanganannya telah terbit surat Menteri Dalam Negeri Nomor 331/9914/OTDA yang kemudian menjadi rujukan bagi pihak kepolisian untuk membuat Surat Telegram (STR). “Saat itu dijadikan rujukan bagi kepolisian untuk membuat STR 566 kalau tidak salah, itu tahun 2017. Yang menterjemahkannya itu,” ucapnya.

Intinya, kepolisian boleh melakukan penyelidikan maupun penyidikan terhadap anggota DPRD, provinsi maupun kabupaten tanpa pemberitahuan atau ijin pimpinan DPRD berdasarkan UU Pemda 23/2014. Karena fungsi DPRD sudah jelas ada 3, yakni legislasi, pengawasan, dan anggaran.

Namun tetap, kepolisian harus menyampaikan pemberitahuan kepada ketua DPRD dan Badan Kehormatan (BK) terkait kasusnya. Kemudian berdasarkan pemberitahuan itu BK juga bisa mengambil sikap pemanggilan para pihak, tapi secara etik saja terhadap perbuatannya.

“Proses hukum tetap berjalan tapi pemberitahuan kepolisian itu harus, kaitannya dengan administratif, namanya kewajiban. Karena secara administratif itu diperlukan oleh institusi. Itu lah tata krama institusi. Selain untuk dasar BK bisa bekerja, pimpinan dewan juga nanti bisa untuk berkirim surat ke DPC untuk berdiskusi guna menentukan langkah-langkah selanjutnya,” papar Syamsul.

Menurutnya, ketika status tersangka sudah ditetapkan, berarti syarat dua alat buktinya sudah terpenuhi secara hukum. Dan kepolisian akan berkoordinasi dengan kejaksaan untuk proses persidangannya. Sehingga prosesnya diharapkan bisa disegerakan agar tidak menggantung.

Disinggung banyaknya anggapan saat penangkapan seorang anggota DPRD Indramayu terjadi tindakan kasar, ia menyikapinya hal tersebut tergantung persepsi. Jika benar terjadi, maka pihak yang keberatan tinggal mengajukan pra peradilan.

“Menurut hemat saya, yang harus memiliki peranan terkuat adalah partai itu sendiri, karena anggota yang di legislatif itu kan sesungguhnya kepanjangan tangan partai yang ditempatkan di legislatif. Jadi tnggal bagaimana partai bersikap, ini menjadi penting. Misalnya saja BK memutuskan yang bersangkutan melanggar etik dan dibebas tugaskan, kalau partai tidak mengisi mau apa? kan itu persoalannya. Sehingga ada tata krama tadi, kebiasaan dalam ketatanegaraan itu perlu dilakuka. Jadi semangat keprihatinannya itu berdasar,” bebernya.

Untuk itu, Syamsul menyarankan tidak perlu menuntut hak imunitas, karena ketika bicara pidana maka ketentuan equality before the law itu tidak bisa dikesampingkan. Artinya, semua orang sama ketika di depan hukum.

“Hak imunitas terbanyak itu sebenarnya di DPR, tetapi kemudian diuji oleh MK. Dalam undang-undang itu untuk memanggil anggota DPR harus ijin BK, tapi kemudian dianulir oleh BK, ijinnya oleh presiden. Tapi ketika sekian hari tidak ada tembusan ya tetap jalan, tidak harus menunggu. Ketika tidak ada jawaban ya lakukan. Itu yang saya pahami, karena tidak boleh berhenti proses itu,” tandasnya. (tar)

Sumber: