Rahardjo Merasa Jadi Sultan Sah Kasepuhan, Minta PRA Luqman Keluar
RAKYATCIREBON.ID – Konflik perebutan kekuasaan di Keraton Kasepuhan Cirebon kembali memanas. Itu setelah Rahardjo Djali mendapuk dirinya sebagai Sultan Aloeda II pada jumenengan yang digelar, Rabu (18/8). Rahardjo mengklaim sebagai sultan yang sah, bukan Sultan Sepuh XV PRA Luqman Zulkaedin.
Pada konferensi pers, Kamis (19/8), Rahardjo Djali didampingi Pangeran Patih Sepuh, Elang Panji Jaya serta Pangeran Patih Dalem, Pangeran Guntur mengungkapkan, berdasarkan beberapa pertimbangan, jumenengan dilakukan dengan hanya mengundang keluarga dan kerabat, sehingga informasi tidak muncul ke permukaan.
\"Jumenengan kemarin 18 Agustus, jam 18.00 WIB. Bukan menyembunyikan, tapi saat penobatan tidak mengundang siapapun hanya keluarga, untuk kesakralan penobatan. Kenapa jumenengan di Umah Kulon tidak di Bangsal Prabayaksa? Karena Sultan Sepuh XI dulu menghabiskan sisa hidupnya di rumah ini,\" ungkap Rahardjo, kemarin.
Pada kesempatan itu, Rahardjo juga menghadirkan ahli sejarah sebagai justifikasi bahwa penobatan atau jumenengan Sultan Sepuh Aloeda II sesuai pepakem adat keraton.
Rahardjo juga menceritakan latar belakang penobatannya, bahwa satu tahun yang lalu saat PRA Luqman Zulkaedin naik takhta, banyak pihak yang menolak. Dan saat itu, dirinya menjadi Polmak di Keraton Kasepuhan.
\"Merunut kembali kepada peristiwa penguhukan Lukman, 30 Agustus 2020 lalu, saat itu dilanda demonstrasi besar-besaran penolakan yang bersangkutan. Itu sudah menggambarkan yang bersangkutan tidak diterima. Apalagi kakek moyang PRA Luqman tidak punya hubungan darah dengan Sultan Sepuh XI,\" tutur Rahardjo.
Selain berkeyakinan bahwa PRA Luqman bukan keturunan Sultan Sepuh XI, Sultan Jamaludin Aloeda Tajul Arifin berdasarkan fakta-fakta sejarah yang dimilikinya, Rahardjo melihat banyak faktor yang mencerminkan PRA Luqman tidak cocok memimpin.
\"Dari dulu masyarakat sudah tahu, tapi hanya diam. Saat ini terbuka. Saya menggembok Keraton Kasepuhan sebagai akibat dari ketidaksetujuan keluarga besar alm Sultan Arief memimpin keraton. Tidak terawat, bahkan di bangsal sakral banyak sampah,\" ujarnya.
Salah satu dokumen penguat yang dimilikinya, kata Rahardjo, surat keputusan MA tahun 1964. Pada surat tersebut, dinyatakan MA menolak forum privilegiatum yang dilayangkan sultan yang bertakhta saat itu, yang merupakan kakek moyang PRA Luqman Zulkaedin.
\"Pegangan kami adalah satu, keputusan MA tahun 1964. Di situ terdapat satu keputusan, MA menolak permohonan yang diajukan Alexander, sultan saat itu. Jadi MA tidak mengakui sebagai sultan. Saat itu Alexander tidak menyandang gelar apapun. Dia bukan keturunan Sultan Sepuh XI. Jadi otomatis Maulana, Arief dan Luqman juga bukan sultan,\" paparnya.
Pada jumenengan kemarin, kata dia, ia juga menerima utusan dari Keraton Yogyakarta yang datang untuk memberikan ucapan selamat. Selanjutnya, dia akan kembali membuka komunikasi dengan pihak Lukman, agar segera mengosongkan keraton.
\"Kami tidak pernah memberikan ultimatum. Kita sudah tiga kali somasi, dasar hukum sangat jelas, keputusan MA. Selanjutnya dialog akan kami lakukan. Tapi mereka tidak pernah memberikan jawaban apapun. Termasuk untuk mengajukan tes DNA. Tapi sama tidak pernah direspons. Maka kami minta agar segera keluar dari keraton,\" imbuh Rahardjo.
Seperti diketahui, Pangeran Raja Adipati (PRA) Luqman Zulkaedin resmi dinobatkan sebagai Sultan Sepuh XV Keraton Kasepuhan, Cirebon, Jawa Barat pada Minggu, 30 Agustus 2020 lalu. Luqman resmi menjadi Sultan Sepuh XV Keraton Kasepuhan setelah menerima keris Nagarunting di ruang Jumenengan Keraton Kasepuhan Cirebon.
Keris Nagarunting, yang merupakan keris milik Sunan Gunung Jati, diberikan oleh PR Goemelar Soeriadiningrat kepada Luqman Zulkaedin, putra sulung almarhum PRA Arief Natadiningrat, Sultan Sepuh XIV yang wafat 22 Juli 2020 lalu.
Sumber: