Usia 101 Tahun, Masih Rawat Goa Belanda di Puncak Bukit Gunung Biru
RAKYATCIREBON.ID - Usman, pria asal Blok Ciloa Desa Lengkong Kulon, Kecamatan Sindangwangi, Kabupaten Majalengka, adalah salah satu sosok pejuang yang masih hidup. Usianya sudah melewati satu abad atau 101 tahun. Bahkan, mungkin merupakan orang tertua di Kabupaten Majalengka yang masih hidup.
AbahUsman, sebutan akrabnya, masih terlihat gagah dan masih kuat berjalan. Saat berkomunikasi pun cukup jelas, meski ia harus berpikir lama saat akan menjawab pertanyaan yang dilontarkan kepadanya. Hanya saja, guratan tuanya tetap terlihat jelas dari kerutan wajah dan gigi yang sudah hampir tidak ada.
Kasi Pelayanan Umum (Yanum) Desa Lengkong Kulon, Agus Supriyadi mengatakan, berdasarkan data di Buku Induk Kependudukan (BIP), Usman lahir pada tanggal 15 Juni tahun 1920. Dan terhitung menjadi orang paling tua di desa tersebut. Sehingga wajar saja, kerap dijadikan warga sebagai tempat bertanya tentang sejarah dan lainnya.
“Ia memang merupakan warga kami. Usianya sudah lebih dari 100 tahun. Berdasarkan data di BIP desa dan Dinas Kependudukan Kabupaten Majalengka, Abah Usman ini lahir pada tanggal 15 Juni 1920 atau sudah berusia 101 tahun,” jelasnya.
Sementara itu, Kepala Dusun Ciloa, Adi Sopandi menambahkan, Abah Usman merupakan satu-satunya warga yang memelihara dan merawat Goa Belanda di puncak Bukit Gunung Biru. Yang lokasinya tidak jauh dari rumahnya.
Di puncak bukit tersebut, terdapat juga goa persembunyian pejuang dari penjajah Belanda, sehingga disebut sebagai Goa Belanda.
Selain itu, Abah Usman juga yang merawat tiga pemakaman di puncak bukit tersebut, yang diyakini masyarakat sebagai makam atau kuburan pusaka serta senjata para pejuang.
“Meski usianya sudah tua seperti itu, namun Abah Usman ini masih kuat untuk naik ke puncak Gunung Biru. Untuk sekadar merawat sejumlah makam pusaka dan membersihkan Goa Belanda itu,” jelasnya.
Sementara itu, saat ditanya wartawan Rakyat Cirebon, seputar pengalamanya saat perjuangan. Ia mengaku sempat mengikuti sejumlah aksi heroik para pejuang untuk kemerdekaan. Dari mulai penjajahan Belanda dan Jepang, sampai zaman gerombolan Darul Islam (DI).
Saat penumpasan gerombolan DI, kata dia, dirinya sempat ikut melakukan aksi pagar betis. Berjaga bersama empat rekannya dan satu tentara dalam satu gubuk. Lokasinya di kaki Gunung Ciremai.
“Pas ketika gerombolan DI saya juga ikut melakukan kegiatan pagar betis bersama tentara dan warga lainnya,” ucap dia sambil sorot matanya sedikit ke atas. Seolah mengingat kembali memorinya pada saat zaman penjajahan.
Disinggung kenapa ia tidak mau mendaftarkan diri menjadi veteran, ia mengaku tidak mau dan lebih memilih menjadi warga biasa saja. Meski ia sendiri sempat ikut berperang dengan penjajah maupun gerombolan pemberontak. “Saya lebih senang seperti ini. Gak apa-apa gak masuk veteran juga,” pungkasnya. (pai)
Sumber: