Belum Bisa Belajar dan Bermain di Sekolah, Awas Anak Rawan Stres!
RAKYATCIREBON.ID - Peringatan hari anak nasional (HAN) 2021, Jumat (23/7) masih dalam suasana pandemi Covid-19. Dampak pandemi bagi anak tak cuma soal kerentanan tertular virus, dari sisi psikis anak juga rawan stres dengan sederat pembatasan yang berlaku.
Contoh yang paling dekat adalah sekolah. Biasanya, sekolah menjadi tempat anak menghabiskan waktu paling banyak. Namun, hingga kini tak kunjung dibuka tatap muka. Taman-taman atau tempat bermain yang biasanya ramai, anak-anak juga terpaksa disterilkan dari segala kegiatan.
Interaksi sosial anak saat ini terbatas hanya dengan orang tua, tetangga rumah atau teman dekat rumah. Itu pun harus dipastikan tidak sedang dalam perawatan positif Covid-19 atau OTG yang sedang isolasi mandiri.
Kepala Bidang Perlindungan Anak Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DSPPPA) Kota Cirebon, Haniyati menjelaskan, saat ini peran orang tualah yang diharapkan dapat memastikan perlindungan dan hak anak tetap terpenuhi. Misalnya hak mendapatkan pendidikan sesuai usianya dan hak bermain.
Namun, mewujudkan semuanya di tengah situasi serba terbatas, jelas bukan perkara mudah. Dalih kesehatan masyarakat adalah hukum tertinggi justru menciptakan regulasi yang membatasi ruang gerak anak. Sehingga segalanya tak lagi sama seperti dulu.
\"Kami berharap di masa pandemi ini, anak-anak Kota Cirebon tidak terpapar corona. Tentunya dengan ikhtiar dan prokesnya,\" ujar Haniyati kepada Rakyat Cirebon.
Pemenuhan hak anak mendapat pendidikan dan jatah bermain terbatas ini, jangan sampai mengecil lantaran orang tua abai terhadap perannya. Justru, kata Haniyati, peran orang tua harus dioptimalkan.
\"Tetap terpenuhi hak-hak dasar anak, hak hidup, tumbuh dan berkembang, perlindungan dan partisipasi melalui optimalisasi peran keluarga,\" jelas dia.
Menurut Haniyati, orang tua tak boleh selalu ambil jalan pintas saat anak bosan menghabiskan hari-harinya hanya di rumah. Misalnya, memberikan akses tak terbatas menggunakan gawai (HP). Gawai seharusnya boleh dipegang anak saat belajar online dan sesekali saja sesuai porsinya.
\"Awasi anak dalam menggunakan HP, walaupun memang dibutuhkan untuk pembelajaran online. Tapi tetap harus dalam pengawasan yang ketat karena berdampak pada perilaku yang menjurus kepada kekerasan,\" tambah Haniyati.
Orang tua dituntut kreatif. Mengajak anaknya belajar sambil bermain. Bisa pula kembali mengenalkan permainan tradisional kepada anak. \"Orang tua harus kreatif dan inovatif. Mungkin dengan cara meng-combine antara yang serius dengan santai. Perkenalkan ke mereka permainan tradisional yang notabene banyak mengandung unsur edukasi, berbagi peran dengan angggota keluarga,\" ucapnya.
Senada, Ketua Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Naila Farah mengungkapkan, anak tak boleh mendapat akses gadget berlebihan. Banyak contoh anak kecanduan HP. Malah sulit dikompromi orang, bahkan cenderung anti sosial.
\"Sangat tidak ideal (akses gadget tanpa batas). Karena efeknya kurang sosialisasi ke orang lain. Ibu lihat anak yang selalu main HP itu kalau diajak ngomong pun matanya nggak menghadap orang ngajak ngomong, tapi selalu ke HP. Akhirnya kalau lepas dari HP imbasnya marah-marah, emosinya nggak stabil,\" ujar dia.
Di sisi lain, tak banyak orang tua punya waktu lebih menemani anaknya belajar dan bermain. Saat sekolah tak dibuka tatap muka dan anak harus banyak di rumah, akan kehilangan teman belajar dan bermain selayaknya yang didapatkan di sekolah. (wan)
Sumber: