Acep-Ridho Berpolemik, Rakyat Jadi Korban
RAKYATCIREBON.ID - Ketidakharmonisan hubungan antara Bupati Kuningan H Acep Purnama SH MH dengan wakilnya M Ridho Suganda, tidak lah elok. Sangat disayangkan. Karena yang menjadi korban adalah masyarakat.
Keretakan hubungan mereka berdua berawal dari mutasi akhir pekan lalu, yang disinyalir perumusannya tidak melibatkan wakil bupati. Tidak lama setelah itu, beredar kabar bahwa sang wakil bupati akan menyerahkan rumah dinas, mobil dinas serta ajudan ke setda.
Bahkan perseteruan ini meruncing dengan adanya mis komunikasi kegiatan peresmian areal makam Desa Bojong. Semula wabup yang diundang untuk hadir, tetapi ternyata bupati yang datang dan meresmikan.
\"Menurut saya, sangat disayangkan yah apabila terjadi hal demikian. Masyarakat Kuningan tentu akan sedih bila ketidakharmonisan ini benar-benar terjadi. Tapi harapan saya ini hanya opini di masyarakat saja. Karena ketika Pilkada kemarin masyarakat berharap dan menitipkan amanahnya,” kata Sekretaris DPD Golkar Kabupaten Kuningan Rukdi W Santana MSi, Senin (15/3).
Menurut Udit sapaan akrabnya, bagaimana pun mereka adalah pemimpin. Mereka tentunya sudah sangat paham betul dengan tugas dan tanggung jawab mereka. Dalam mewujudkan visi misi Kuningan, tidak mungkin hal itu terjadi.
Udit pun menambahkan, Partai Golkar siap menjadi mediator dalam hal ini. Karena partai Golkar bagian partai pendukung pemerintah. “Ya kita siap. karena kan kita itu partai pendukung pemerintah, kalau ada kesempatan kita siap,” ujarnya.
Udit menambahkan, pemimpin harus bisa memberikan contoh yang baik kepada masyarakatnya, terutama harus jadi panutan birokrat yang mana Birokrat sebagai ujung tombak dalam merealisasikan program kerja, di masa pandemi sekarang sangat diperlukan adanya kebersamaan, gotong royong dan sinergitas untuk bisa cepat ke luar dari masa krisis karena pandemi.
“Saat ini yang kita butuhkan adalah kebersamaan. Pemimpin harus menjadi panutan bagi rakyatnya,” jelasnya.
Terpisah, pengamat politik Boy Sandi Karta Negara berharap, keretakan itu tak perlu terjadi jika masing-masing sadar dan sabar. Baginya, pasangan K1 dan K2 ini kan seperti pasangan suami-istri yang terlepas dari kawin sukarela atau kawin paksa. Mereka terikat dalam sumpah perkawinan yang sah.
“Sangat wajar jika dalam proses berumah tangga pasti ada saja persoalan yang muncul. Namun sebagai pasangan yang sudah dewasa (karena berani menikah), maka setiap persoalan yang muncul harus dihadapi secara dewasa. Tak perlu memusingkan orang tua. Mengganggu mertua, apalagi sampai harus koar-koar ke tetangga,” katanya.
Kembali ke soal relasi K1 dan K2, kata Boy, itu merupakan dinamika saja. Dalam pemahamannya, politik adalah seni merebut dan mempertahankan kekuasaan.
Pasangan AR sudah berjuang untuk meraih itu. Maka, ketika sudah berkuasa, pasti akan muncul komposisi pembangian kewenangan yang sudah diatur dalam perundangan. Dan itu harusnya tak perlu ada persengketaan jika aturan jadi patokan.
“Bagi saya masih banyak hal urgen yang harusnya dipikirkan. Dirumuskan dan dilakukan oleh mereka. Daripada sekadar berselisih soal kewenangan tadi. PR Kuningan masih banyak yang harus diselesaikan. Dan hanya spirit kolaborasi yang paling memungkinkan untuk menuntaskan visi misi yang mereka janjikan kepada rakyat. Soal kompetisi, itu soal nanti. Ada ruangnya, ada waktunya. Saya melihat sejak zaman Pak Aang-Aan Suharso, Pasangan Arrohman, dinamika relasi Bupati-Wakil Bupati selalu terjadi. Tapi ruang fair untuk menyelesaikan disharmonisasi tadi dituntaskan di pilkada,” tegasnya.
Boy berharap kepada Acep-Edo untuk fokus dengan agenda-agenda pembangunan yang sudah direncanakan. Biarlah hingar-bingar keretakan itu jadi bumbu bagi perjalanan karir mereka. Hingga tiba saat yang paling tepat untuk memutuskan apakah perlu dilanjut berdampingan atau saling berhadapan pada saatnya di pilkada.
Sumber: