Yuli Ismartono: Jurnalis Perempuan, Menantang Perang
“Selama berada di sana dan melakukan peliputan, termasuk juga untuk mengirim berita, saya memanfaatkan teman. Termasuk ketika saya bertanya bagaimana saya bisa masuk ke masyarakat? Mereka jawab, kamu harus ini dan itu, termasuk mereka mengingatkan saya untuk memakai kerudung. Jadi, itulah fungsi networking. Penting sekali di situ. Kita harus jalin persahabatan, kalau sudah itu, dengan kredibilitas juga. Kalau waktu itu ada pembicaraan yang off the record, ya, harus benar-benar off the record. Kita harus menghormati permintaan mereka. Saya dianggap wartawan yang profesional, bisa dipercaya, dan kutipan saya tidak pernah ngawur-ngawuran. Karena itu, saya selalu diajak oleh wartawan-wartawan Bangkok Post dan dipercaya oleh mereka sehingga saya mudah sekali mendapatkan kesempatan yang mahal,” tutur Yuli.
Selain faktor jaringan, faktor lain yang menjadi prinsip Yuli adalah memegang teguh prinsip-prinsip jurnalistik, termasuk kode etik jurnalistik. “Saya berusaha objektif waktu mengirim berita. Tugas saya murni untuk mencari informasi dan mencari tanggapan orang untuk saya kirim ke Jakarta. Saya tidak pernah membuat kesimpulan. Sayaserahkansemua ke editor-editor itu. Kalau kita mau jadi wartawan yang profesional, kerja kita adalah memberitakan. Keinginan saya adalah memberi informasi yang sebenarnya, yang setepatnya, kepada masyarakat. Itulah visi kita untuk menjelaskan satu masalah yang sedang terjadi, harus sejujur mungkin, seobjektif mungkin. Misalnya, kita diberitakan dan kita dilarang mengomentari, dan kita harus memberi pendapat. Jadi, penulisan kita harus mencerminkan objektivitas itu,” ujarnya.
Jurnalis Perempuan
Perang adalah area maskulin. Kekerasan, senjata, darah, dan korban-korban manusia tak berdosa menjadi penghiasnya. Penggambaran perang yang semacam itu tidaklah menjadi penghalang bagi Yuli untuk terjun ke dunia yang selalu didominasi nuansa maskulin. “Ini dunia laki-laki sebetulnya, tapi dalam konteks ini saya adalah jurnalis, saya profesional dan saya tidak pernah melihat bahwa saya berbeda. Karena mungkin saja saya diskriminasi, tapi saya tidak mau melihat itu sebagai rintangan. Saya selalu memaksa kalau tidak boleh. Saya pernah dilarang masuk ke daerah konflik itu, mereka mengatakan kepada saya, kamu, kan, perempuan. Bagi saya, tidak ada kata perempuan atau laki-laki. Saya sering mendapatkan kata-kata itu. Pernah suatu kali oleh tentara saya dilarang masuk, alasannya ini bukan area untuk perempuan. Tapi, saya balas menjawab bahwa ini tugas saya. Tidak ada laki-laki atau perempuan dalam tugas ini. Mereka tetap marah, ‘Kamu bodoh sekali, ya. Ini, kan, bahaya. Kamu bisa kena tembak.’ Saya jawab, ‘Oh, itu risiko saya, Pak.’ Pokoknya, saya terus meyakinkan mereka bahwa saya bisa mengerjakan tugas saya dengan baik,” jelas Yuli dengan berapi-api.
Persoalan-persoalan yang diskriminatif terhadap perempuan itulah yang kadang kala menghambat perjalanan karier jurnalistiknya. Terkesan itu persoalan ringan, tapi itu merupakan persoalan besar menyangkut posisi perempuan di dalam lingkungan masyarakat. Yuli selalu merasa kesal bila hilangnya kesempatan meliput suatu peristiwa hanya disebabkan gendernya. Kekesalan dan kesedihan Yuli sebagai perempuan tidak saja ditujukan dari perilaku masyarakat yang memposisikan dirinya lemah. Kesedihannya semakin bertambah ketika ia harus menyaksikan bagaimana perang tidak pernah meninggalkan sesuatu yang membanggakan. Perang telah banyak merenggut nyawa manusia, terutama perempuan dan anak-anak yang paling banyak menjadi korban.
“Saya sedih karena saya benar-benar seorang yang pro-damai. Saya dapat melihat secara nyata betapa buruknya pengaruh dan dampak perang. Perang itu, dari yang kecil sampai yang besar, yang selalu menderita itu rakyat. Perang itu, kan, permainan pemimpin politik mereka, tapi dampaknya itu masyarakat. Saya sedih. Menggambarkan kesedihan korban perang itulah yang menjadi tujuan saya untuk memberitakan suatu peristiwa. Inilah yang akan terjadi kalau perang itu terjadi. Saya melihat di Irak itu menyedihkan sekali. Semua serba kekurangan, di rumah sakit banyak korban, kekurangan obat, kekurangan makanan. Kalau sudah begini, siapa yang harus bertanggung jawab. Perang selalu mengatasnamakan kebebasan, tapi pada akhirnya menyedihkan. Seperti di Kamboja, selama beberapa dasawarsa perang terus, ladang, gedung sekolah, hancur percuma, yang menderita adalah rakyat yang tidak tahu-menahu soal perang.”
“Saya melihat bagaimana orang kena ranjau di Afghanistan, Srilangka, Kamboja. Kehidupan seseorang itu bisa hancur sama sekali hanya karena ia kena ranjau. Anak kecil banyak yang kakinya buntung kena ranjau. Paling banyak yang menjadi korban itu perempuan dan anak,” tambahnya. Kesedihan akan korban perang di Birma juga membuat dirinya sangat terpukul. “Saya melihat sebuah masyarakat atau rakyat Birma yang tertindas berusaha keras untuk keluar dari penindasan itu, tapi gagal. Saya menangis waktu itu, saya melihat banyak korban, banyak darah yang mengalir, malah pemimpinnya ditahan sampai terkucil,” kata Yuli. Perang memang selalu tidak berpihak kepada kemanusiaan. Semua atas dasar kekuasaan.
Semangat dirinya untuk meliput wilayah konflik cukup besar. Namun, cita-cita itu harus berhenti sejenak. Bersama dengan sejumlah karyawan Tempo lainnya di tahun 1993, Yuli harus berhenti bekerja karena Tempo diberedel pemerintah Indonesia pada zaman Orde Baru. Majalah Tempo diberedel bersama majalah Editor dan tabloid Detik yang memberitakan masalah pembelian kapal perang oleh Habibie semasa menjabat Menteri Riset dan Teknologi. Ketika tidak lagi di Tempo, Yuli pernah bergabung di SCTV pada divisi pemberitaan dan kehumasan. Sebelum kembali ke Tempo tahun 1999 ketika Tempo diperbolehkan terbit lagi, ia pernah menjadi staf kehumasan PT Freeport Indonesia di Papua.
Semangat Yuli Ismartono cukup dibanggakan. Sebagai perempuan, ia tidak saja berhasil menembuswilayah-wilayah perang yang selama ini dijauhi oleh perempuan, tapi ia juga berhasil menunjukkan bahwa profesionalitas itu bisa dilakukan oleh siapa saja, baik laki-laki maupun perempuan. Dan, semua perempuan juga bisa melakukan itu, seperti yang dilakukan oleh Yuli Ismartono, seorang jurnalis perempuan yang menantang perang.
Tulisan ini dibuat pada tahun 2003
Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, No. 28, 2003 Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.
Mereka yang di Atas Persoalan, Kumpulan Profil dan Wawancara Jurnal Perempuan. 2013. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.
Sumber: