Yuli Ismartono: Jurnalis Perempuan, Menantang Perang

Yuli Ismartono: Jurnalis Perempuan, Menantang Perang

WAKTU itu saya bertanya, “Apakah Anda tidak risau bahwa Anda dicari-cari oleh polisi dan sejumlah aparat dari berbagai negara?” Khun Sa waktu itu menjawab, “Saya bukan bandit, saya bukan teroris, tetapi saya juru selamat ratusan petani di daerah ini,” ujarnya. (Yuli Ismartono, 2003)

Kutipan di atas adalah salah satu isi percakapan antara Yuli Ismartono dan Khun Sa seorang “Raja Opium” yang sangat disegani di wilayah Segitiga Emas (golden triangle), yaitu terletak di antara negara Burma, Laosn  dan Thailand. Bertemu dengan Raja Opium adalah pengalaman jurnalistiknya yang paling dikenang sekaligus sebuah prestasi tersendiri. Betapa tidak! Khun Sa adalah nama yang tidak asing lagi bagi banyak pihak, terutama bagi pemerintah, seperti Burma atau Amerika Serikat. Bagi pemerintah Burma, Khun Sa tidak saja dikenal sebagai raja opium, namun juga dikenal sebagai sosok bandit yang ringan tangan dalam mencabut nyawa-nyawa orang yang berseberangan dengannya atau memperlihatkan sikap melawan. Sementara itu, Khun Sa menjadi target operasi atau the most wanted person pemerintah Amerika yang berperang melawan jenis obat-obatan terlarang.

Keberhasilan Yuli menemui Khun Sa bukanlah tanpa perjuangan. Kabar bahwa Khun Sa bersedia menemui dirinya harus dinantinya selama setahun. “Untuk mendapatkan kesempatan bertemu dengan Khun Sa, saya nunggu dulu setahun,” katanya. Suatu hari saya mendapat kabar dari teman wartawan Bangkok Post kalau saya bisa bertemu dengan Raja Opium. Berita itu datanganya tengah malam, kenang Yuli. “Kamu harus segera berangkat hari ini juga ke Chiangrai. Di sana kamu akan bertemu dengan orangnya Khun Sa yang akan membawamu ke markas Khun Sa,” kata Yuli meniru ucapan rekannya. Malam itu juga ia pergi meninggalkan Bangkok menuju Chiangrai. Ternyata sampai di Chiangrai, ia tidak bisa langsung berangkat untuk menemui Khun Sa, ia masih harus menunggu kepastiannya selama dua hari, sampai akhirnya pada tengah malam, orang-orang Khun Sa mengajaknya untuk meninggalkan Chiangrai menyeberang ke perbatasan Birma. Perjalanannya pun selalu ditempuh pada malam hari karena perjalanan ini merupakan perjalanan yang terlarang.

“Jadi, tengah malam, kita diajak naik gunung, naik keledai, lama sekali perjalanannya, melintasi hutan dan sungai, sampai sakit saya untuk bisa bertemu dengan Raja Opium itu. Sampai pada akhirnya, saya tiba di suatu tempat di mana banyak orang membawa senjata. Khun Sa sendiri memakai pistol.  Ia dikawal oleh tentaranya sendiri. Saya melihat di mana-mana ada tanaman opium. Wow, mengerikan sekali, tapi saya bangga akhirnya bisa menemui Raja Opium ini,” kenangnya. Di sinilah kehebatan Yuli Ismartono, di saat semua pihak kesulitan mencari jejak Khun Sa, ia malah dengan kemampuannya berbincang dengan Raja Opium tersebut.

Jurnalistik dan Perang dalam Kehidupannya
Siang itu cuaca di Jakarta tidak terlalu cerah ketika Yuli menerima Jurnal Perempuan. Tanah Jakarta baru saja terguyur hujan deras dan pada saat wawancara dilakukan, rintik hujan masih terlihat menari-menari lewat kaca jendela ruang kerjanya. Ruang kerja Yuli berukuran empat kali empat meter dan berada di lantai empat gedung Tempo di Jalan Proklamasi, Jakarta. Di ruangan itu ada tiga meja, satu meja digunakan sebagai meja kerja, satu meja digunakan untuk menata buku-buku, dan satu meja kecil yang ditaruh di ujung ruangan bersama dua kursi tamu. Selain buku-buku, memasuki ruangannya kita akan disuguhi oleh gambar-gambar foto Yuli ketika dalam tugas meliput perang. Tidak ketinggalan, satu set komputer diletakkan di ujung ruangan bersebelahan dengan meja kerja. Semua tertata dengan cukup rapi. Itulah ruangan seorang eksekutif Majalah Tempo berbahasa Inggris. Ditemani dengan dua gelas air putih, wawancara pun dimulai di kursi ruangan yang memang tersedia untuk dua orang.

Yuli memulai percakapan dengan mengisahkan pengalaman ketika ia mendapat tugas peliputan ke Bangkok. Tugas itu merupakan tugas pertamanya ketika ia diminta menjadi koresponden Majalah Tempo. Bangkok tidak saja meninggalkan kesan sebagai wilayah paling mengesankan. Pengalaman itu terjadi di saat ia bersama rekan wartawan perempuan terjebak di bawah jembatan kecil di tengah-tengah kedua kubu yang saling menembak.

Awalnya tidak terpikirkan sama sekali bahwa ia menjadi seorang wartawan perang, sekitar awal tahun 1980-1990 akhir. “Awalnya, saya hanya ingin menjadi wartawan saja,” kata Yuli. Namun, waktu itu di Bangkok hampir selama dua tahun terjadi sejumlah kudeta oleh tentara. Sementara itu, letak Bangkok yang tidak jauh dari perbatasan Muangthai dan Kamboja, pada tahun 1980-an juga sedang terjadi perang antara tiga faksi di Kamboja, yang salah satu faksi yang berkuasa menggugah ASEAN untuk berperan menciptakan perdamaian. Di sini peran pemerintah Indonesia, menurutnya, sangat menentukan, karena sebagai salah satu pendiri ASEAN kelihatannya pemerintah RI ingin sekali mengadakan perdamaian antara sejumlah negara di Asia Tenggara yang berkonflik. Tentunya Tempo sangat berkepentingan dalam berita itu. Dari sinilah Yuli Ismartono dibutuhkan dan langsung ditempatkan di Bangkok sebagai koresponden.

Hal yang paling mengesankan dan sudah pasti tak akan terlupakan baginya adalah di saat ia terjebak di tengah-tengah pertempuran di perbatasan Kamboja. “Kami terjebak dalam peperangan selama satu hari satu malam di perbatasan Kamboja. Waktu itu kami berdua, saya dan satu teman lagi wartawan perempuan dari Strait Times Singapura, berasa ada di antara peluru yang  melayang  dari  dua kubu yang jaraknya tidak terlalu jauh. Kami berdua bersembunyi di bawah jembatan kecil dan sudah pasti mencekam. Jadinya, kami berdua sepanjang hari itu menunduk saja, di antara bebatuan dan lumpur selama satu hari satu malam. Sungguh, malam itu sangat mencekam. Kami sempat kehabisan bahan makanan dan minuman, tapi kami harus bertahan. Untung perang tidak berlarut-larut karena persediaan makanan kami habis. Sejak peristiwa itu, saya selalu sedia makanan dan minuman setiap kali peliputan, saya khawatir kondisi mencekam itu kembali terulang,” kenang Yuli Ismartono ketika mengenang salah satu peliputan perang yang paling menegangkan dalam tugasnya sebagai jurnalis.

Terlihat sekali dari cara ia bercerita dan mimik wajahnya bahwa ia memang sangat menikmati penugasannya sebagai wartawan perang. Pengalamannya terjebak di tengah-tengah pertempuran tidak membuatnya jera. Semakin banyak perang, semakin tertantang nyali jurnalistiknya. “Di Thailand sendiri, selain kudeta politik dari tentara, juga banyak masalah yang layak diberitakan, misalnya antara kaum muslim dan pemerintah pusat. Seperti Aceh di sini, mereka menginginkan mendirikan negara Islam di situ. Dan, kebetulan, pada saat itu juga di perbatasan dengan Malaysia di bagian selatan Muangthai, banyak masalah dengan kelompok-kelompok gerilya komunis yang sebetulnya pelarian dari Malaysia, tapi mereka meminta suakanya ke Thailand. Selain itu juga, di perbatasan dengan Birma, konflik selalu ada antara pemerintah Birma (sekarang Myanmar) dan kalangan gerilyawan yang menentang otoritas pusat. Mereka selalu bergejolaknya di perbatasan. Karenanya, bisa dibilang bahwa Thailand itu perbatasannya penuh dengan wilayah konflik. Sepertinya tepat sekali saya ditempatkan di Bangkok. Semua itu, menurut saya adalah area konflik yang menarik,” ujar Yuli.

Pengalaman meliput sejumlah konflik di perbatasan Thailand tampaknya menjadi pintu masuk bagi Yuli untuk memasuki area konflik berikutnya. Majalah Tempo kelihatan puas dengan hasil liputan yang dilakukan olehnya selama ini. Entah ini semacam kutukan atau malah berkah jika kemudian Yuli harus menerima sejumlah penugasan liputan yang sudah pasti merupakan area peperangan. Selain Thailand, ia pun harus menerima penugasan di Irak, kemudian di Afghanistan, pertikaian pemerintah Srilangka dengan pemberontak Tamil Eelam, runtuhya rezim Aphartheid di Afrika Selatan, bahkan ia harus mengejar raja opium yang terkenal, yaitu Khun Sa di wilayah Segitiga Emas. Tentunya, sejumlah penugasan yang dilimpahkan kepada dirinya adalah kepercayaan yang telah ia bangun. Simak saja apa komentarnya tentang yang satu ini.  “Pertama, mungkin saya sudah ada di luar negeri dan kedua saya sudah berpengalaman meliput area konflik, termasuk berapa uang yang saya terima dan bagaimana menembus wilayah konflik, semua sudah sangat jelas dan saya memang mengerjakan dengan kesungguhan,” demikian tuturnya.

Tugas lain yang juga tidak bisa dilupakannya adalah ketika ia bertemu dengan pemberontak Tamil Eelam di Srilangka. Ia mendapat kesempatan bisa bertemu dengan pemberontak ini setelah tidak sengaja ia bertemu dengan pengungsi lain yang lolos dari area konflik melalui jalan tikus. Jalan tikus bagi pengungsi atau Yuli sama-sama sebagai jalan penyelamat. Bila jalan tikus ini dianggap sebagai jalan penyelamatan dan pelarian diri dari konflik bersenjata, maka tidak demikian anggapan Yuli karena jalan tikus adalah jalan penyelamat bagi dia untuk akhirnya bisa menemui para pemberontak Tamil Eelam.

Seperti yang ditulis oleh majalah Bazaar, untuk bertemu dengan para pemeberontak Tamil Eelam, ia harus melewati berbagai pos penjagaan dan rute jalan yang sangat berat. Berbagai penjagaan ketat harus dilalui Yuli sampai akhirnya ia diantar oleh pihak pemberontak ke pusat pemberontakan. Ternyata, untuk sampai ke sana, yaitu di semenanjung Jaffna, Srilangka, ia harus menjinjing tinggi- tinggi ransel yang berisi kamera dan tape. Jalan yang dilaluinya pun penuh dengan ranjau. Di sepanjang jalan yang dilewati harus ditunjukkan tanda-tanda bahwa mereka adalah tamu yang sudah diketahui kedatangannya. Sampai akhirnya, Yuli tiba di tanah Jaffna, pusat pemberontakan Tamil Eelam, dan ia melihat setiap orang di sana memanggul senjata. Yuli pun diperlakukan dengan sangat baik, ia diberi penginapan khusus perempuan.

Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa dunia jurnalistik bagi Yuli adalah segala-galanya dan medan perang sudah menjadi bagian dari hidupnya. Yuli beruntung mempunyai keluarga yang  mengerti  dengan  kehidupan  jurnalis.  “Keluarga  dan suami saya penuh pengertian. Sedikitnya untuk satu peliputan saya harus meninggalkan keluarga selama 2-3hari. Bahkan, ketika saya mendapat tugas ke Irak, saya meninggalkan mereka kurang lebih tiga bulan,” tuturnya. Yuli adalah ibu dari dua anak, yang pertama perempuan bernama Atikah Suburt (29), saat ini menjadi wartawan CNN untuk peliputan di Indonesia dan satunya lagi laki-laki bernama James Lowai (24) yang sekarang masih menempuh kuliah di Amerika.

Yuli lahir di Yogyakarta pada 4 Oktober 1946 dan terlahir sebagai anak seorang diplomat. Karena itu, tidak mengherankan apabila ia selalu berpindah-pindah tempat tinggal mengikuti tugas ayahnya, hingga akhirnya ia harus menyelesaikan studi S1-nya di India meskipun sempat kuliah di Universitas Indonesia. “Saya pernah di UI sebentar, kemudian saya melanjutkan ke India dan bertemu dengan Aung San Suu Kyi. Kami berteman, di samping karena orang tua kami sama-sama diplomat dan kami menempuh pendidikan di universitas yang sama, sampai akhirnya ia dipenjara oleh pemerintah Burma. Kalau ada kesempatan, saya selalu mengontaknya. Kami masih saling memberi kabar meskipun harus dengan sembunyi-sembunyi,” demikian ujarnya.

Selesai menamatkan studi, ia kembali ke Indonesia. Yuli pun bingung mencari pekerjaan yang pas untuk dirinya hingga ia bertemu dengan Ibu Herawati Diah yang menawarinya bergabung di harian Indonesian Observer. Sejak saat itu, ia tidak pernah mengenal pekerjaan lain, selain kegiatan jurnalistik yang ia tekuni sejak 1969. Di media yang satu ini, ia melewati karier jurnalistiknya selama satu tahun karena kemudian ia meneruskan studinya ke Amerika di Universitas Firencius, New York. Setelah itu, ia kembali lagi ke Indonesia dan menjadi editor untuk Jurnal Prisma edisi bahasa Inggris sekitar tahun 1977-1982. Selepas dari Prisma, iamenjadi koresponden Majalah Tempo di Bangkok. Awalnya memang ia tidak bekerja untuk Majalah Tempo. Kepergiannya ke Bangkok dalam rangka mengikuti tugas suami. John Mcbeth, demikian nama suaminya, adalah salah seorang pejabat UNICEF yang ditugaskan di Bangkok. Karena kebetulan di Thailand dan sepanjang perbatasannya penuh daerah konflik sementara Tempo membutuhkan jurnalis yang bisa meliput, maka jadilah Yuli ditawari oleh Tempo untuk menjadi koresponden di sana yang ternyata banyak melahirkan pengalaman menarik baginya.

Jurnalis Profesional
Memasuki wilayah konflik bukanlah pekerjaan mudah. Biasanya, daerah ini tertutup bagi semua pihak, kecuali pihak-pihak tertentu atau pihak yang bertikai. Menjadi wartawan di daerah konflik tidak bisa  mengandalkan  kemampuan  teori jurnalistik. Jurnalis yang dikirim ke wilayah konflik tidak saja harus cermat menyimakperistiwa, tetapi jugaharuscermatmawasdiri menghadapi kemungkinan terkena tembakan. Di sini keberanian sangat diutamakan.
“Waktu kita terjun ke lapangan, kita tidak ada waktu untuk takut. Kita bukan saja harus melihat semua dan terus mencatat, tapi kita juga harus mawas diri,” kata Yuli. Dalam konteks itu, faktor pengalaman, keberanian. dan keinginan untuk membangun jaringan adalah kunci utama dalam proses peliputan di wilayah konflik. Faktor inilah yang terus menjadi kuncinya dalam setiap kesempatannya meliput area konflik dan sejauh ini, ia memang tidak pernah menolak kesempatan yang diminta padanya, bahkan ia sangat menikmati kesempatan tersebut.

“Kata kunci selama saya bertugas adalah jaringan. Saya selalu memanfaatkan jaringan dimana pun saya ditugaskan. Saya bisa masuk ke daerah gerilyawan Tamil Eelam itu bukan saya dapat sendiri. Saya ngomong-ngomong dengan pengungsi. Saya bertanya, ‘Daerah itu sudah diblokir, kok, kamu bisa keluar?’ Orang itu menjawab, ‘Oh, ada jalan tikus, Bu.’ Terus, saya cerita sama teman saya dari Amerika dan itu prinsip saya, saya tidak mau jalan sendirian. Karena saya takut bila terjadi sesuatu, tidak ada yang digambar oleh pengungsi. Dan, benar ternyata, kita sampai juga di tempat tujuan,” ujar Yuli. Membangun komunikasi dengan berbagai pihak ini juga yang membawa kesuksesan Yuli menembus daerah konflik di Thailand untuk pertama kali. Menurutnya, Majalah Tempo tidak pernah mengajarkan secara detail bagaimana meliput wilayah konflik. Untuk itu, dibutuhkan kemampuan Sang Jurnalis ini untuk menggali sendiri kunci-kunci yang bisa membawanya ke area konflik.

Ia adalah salah satu wartawan yang mencari sendiri kunci-kunci itu. Ketika di Bangkok, misalnya, Yuli berteman dengan banyak pihak. Ia memanfaatkan asosiasi perkumpulan wartawan yang ada di Bangkok. Di Bangkok banyak pula wartawan asing dari penjuru dunia berkumpul karena waktu itu Thailand dan wilayah sekitarnya dipenuhi oleh konflik dan liku-liku. Yuli pun meminta pertolongan mereka. “Saya ingat banyak izin yang harus dipenuhi, namun semua bisa teratasi karena banyak yang membantu saya untuk mengurusnya,” ujar Yuli. Hal yang sama juga dilakukan ketika ia harus meliput wilayah konflik di Afghanistan pada 1989. “Waktu dikirim ke Afghanistan, saya ikut Jawal Dastan, mungkin nama itu tidak populer. Ia adalah kepala suku yang masih bertahan di bagian utara Afghanistan. Waktu itu pemerintah Rusia angkat tangan terhadap tentara Afghanistan, seperti Amerika bertekuk lutut di Vietnam. Peristiwa ini adalah peristiwa besar. Tank-tank besar Rusia tidak ada, siapa nanti yang akan berkuasa? Saya harus mencari informasi itu dan sangat sukar untuk mendapatkan datanya. Datang ke kedutaan Afghanistan untuk mencari tahu kemungkinan ke sana, saya malah dibilang, ‘Kamu gila, kamu perempuan, tidak berjilbab, sulit untuk masuk wilayah Afghanistan,’ demikian kata pejabat kedutaan itu. Tapi, untung, dulu Taliban belum masuk, Afghanistan masih agak liberal. Ketika saya ditanya, ‘Kamu siapa dan apa maksudnya datang ke Afghanistan?’ Saya menjawab, ‘Saya wartawan dan saya ingin meliput kondisi Afghanistan setelah Rusia menyerah.’ Setelah menunjukkan sejumlah identitas, barulah mereka memberi izin untuk masuk ke wilayah Afghanistan.”

Sumber: