Tenaga Honorer Bukanlah Beban Negara
KABAR terbaru membuat hati semakin pilu.
Sungguh, pernyataan pemerintah bahwa negara terbebani dengan kehadiran tenaga honorer adalah tak masuk akal. Padahal pada awalnya rekrutmen tenaga honorer adalah upaya mengurangi pengangguran, sekaligus pemerintah mendapatkan tenaga yang mau dibayar rendah (sesuai budget Negara) karena belum berpengalaman. Bahkan itu juga sebagai janji direkrut menjadi ASN.
Komisi II DPR RI bersama Kementerian PAN-RB dan Badan Kepegawaian Negara (BKN) sepakat untuk memastikan tidak ada lagi status pegawai yang bekerja di instansi pemerintah selain PNS dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
“Dengan demikian ke depannya secara bertahap tidak ada lagi jenis pegawai tetap, pegawai tidak tetap, tenaga honorer, dan lainnya,” jelas Kesimpulan Komisi II DPR. (CNBC Indonesia, 20/1).
Padahal pengangkatan tenaga honorer menjadi PNS sudah dilakukan sejak tahun 2005-2014, setidaknya sudah ada 1.070.092 orang yang berhasil menjadi abdi negara. Sekarang sisanya ada sekitar 438.590 orang tenaga honorer di lingkungan pemerintahan.
Upaya yang dilakukan pemerintah untuk menghapus status tenaga honorer dengan cara mengikutsertakan pada seleksi calon pegawai negeri sipil (CPNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Target penyelesaian sisa tenaga honorer ini selesai pada 2021.
Larangan tersebut sudah tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 48 tahun 2005 Pasal 8. Sebagaimana yang tertuang dalam UU Nomor 5 tahun 2014 tentang aparatur sipil negara (ASN), yang dimaksud ASN adalah PNS dan PPPK. Di luar itu maka tidak dianggap.
Larangan tersebut sudah tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 48 tahun 2005 Pasal 8. Sebagaimana yang tertuang dalam UU Nomor 5 tahun 2014 tentang aparatur sipil negara (ASN), yang dimaksud ASN adalah PNS dan PPPK. Di luar itu maka tidak dianggap.
Hal ini menunjukkan jika negara gagal mengatasi masalah penyaluran tenaga kerja. Dan juga menegaskan bahwa cara pandang pemerintah terhadap rakyat hanyalah dari sisi ekonomis atau untung rugi semata. Ketika peminat rakyat untuk menjadi tenaga honorer kian banyak, pemerintah akhirnya membuat aturan tersebut.
Padahal selama ini tenaga honorer rela bekerja dengan gaji tak seberapa. Sungguh ini semakin memupuskan harapan rakyat di tengah sulitnya mencari kerja di sistem kapitalisme ini.
Tapi, memang begitulah dalam kapitalisme. Hal-hal yang membutuhkan pengeluaran banyak dianggap merugikan, meskipun itu untuk menggaji rakyatnya sendiri. Seperti saat ini, yang menjadi sorotan adalah guru honorer. Jumlah mereka yang banyak, dianggap membebani keuangan negara. Padahal gaji mereka masih jauh dikatakan layak.
Sungguh kondisi ini berbeda jauh dengan masa kekhilafan Islam. Dalam Islam, akan memberikan pekerjaan pada setiap warga yang wajib bekerja, contohnya adalah bagi laki-laki yang sudah baligh. Dan rekrutmen pegawai negara dalam Islam tidak mengenal istilah honorer. Karena pegawai negara akan direkrut sesuai kebutuhan riil negara untuk menjalankan semua pekerjaan administratif maupun pelayanan dalam jumlah yang mencukupi. Semua akan digaji dengan akad ijarah dengan gaji yang layak sesuai jenis pekerjaan.
Bahkan tercatat dalam sejarah, di masa kekhalifahan Umar bin Khattab, seorang guru digaji sekitar 15 dinar atau setara dengan 30 juta rupiah. Sangat berbeda dengan sekarang, guru yang susah payah mendidik dan mencerdaskan anak bangsa, gajinya jauh di bawah 10 juta rupiah.
Apalagi yang honorer, ada yang 300 ribu rupiah bahkan 50 ribu rupiah.
Sumber: