Memoar Putra Bungsu Mayor Tan Tjin Kie
![Memoar Putra Bungsu Mayor Tan Tjin Kie](https://rakyatcirebon.disway.id/uploads/sites/61/2020/01/peringatan.jpg)
Pemakaman akbar Sang Mayor Cina ini dihadiri oleh keluarga Residen Cirebon C.J. Feith dan Asisten Residen A.J.H. Eijken. Pemerintah Hindia Belanda juga mengirimkan dua pleton pasukan sebagai penghormatan terakhir.
Kerabat keraton Cirebon, para amtenar bumiputra, Letnan Arab dan keluarga besarnya turut melayat, demikian papar Gin Ho. Sederet opsir Cina dari luar kota: Kapiten Cina Khouw Oen Hoeij dari Batavia, Letnan Cina Thung Tjoen Ho asal Bogor, Sianseng Tan Tek Haij asal Lampegan; hingga Pangeran Ario Mangkoediningrat—yang mewakili Susuhunan Pakubuwono—dan juga Auw Yang Kee yang menjabat Konsul Jenderal Tiongkok.
Gin Ho menaksir ada 200.000 orang yang hadir untuk melayat. Biaya sewa kahar atau kereta yang ditarik lembu atau kuda melonjak delapan kali lipat, sementara harga sewa mobil berlipat berjingkat-jingkat hingga empat kali. Gin Ho juga mengamati di sepanjang jalan yang dilalui iring-iringan pelayat, banyak penjual meraup untung yang berlebihan. “Waroengan ada djoeal aer per kendi ƒ1,” catatnya. “Sepintjoek nasi jang harga bijasa tjoema 1 cent, di djoeal boeat 10 cent ka atas.”Tan Gin Ho, Peringetan dari Wafatnja Majoor Tan Thin Kie, Druk en Cliche\'s van G. Kolff & Co. BSuikerfabriek Luwunggadjah, pabrik gula yang sekaligus menjadi pabrik uangnya Mayor Tan Tjin Kie.
Tak hanya pedagang makanan atau minuman yang menjaring untung di hari pemakaman Mayor Tan Tjin Kie, tetapi juga pemilik tribun bambu yang didesain bertingkat khusus untuk menonton perhelatan akbar ini. Para penyewa kursi tribun itu tak berbatas bangsa—orang Tionghoa, Eropa, dan bumiputra, demikian ungkap Gin Ho. Kendati demikian, banyak juga orang yang tidak kebagian tempat. Mereka menyaksikan iring-iringan upacara pemakaman itu dari loteng-loteng rumah atau pepohonan di tepi jalan. “Boekan sadja toean-toean Europa tapi ada bebrapa njonja-njonja of [atau] nona-nona Eropa jang toeroet naek di poehoen-poehoen.”
Tatkala kereta jenazah lewat, suasana senyap dan takzim. Para pelayat tak berani beruara keras. Mereka yang berada di tepian jalan pun menghormatinya. Orang-orang Eropa membuka topi mereka, sementara nyonya-nyoya Tionghoa bersoja—memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan dalam tradisi Konghucu.
“Maski orang ada begitoe banjak dan di antaranja ada banjak jang koerang makan dan koerang tidoer,\" tulis Gin Ho, \"tapi dari kasihannja Toehan Jang Maha Kwasa semoeannja ada slamet, tida ada kedjadian katjilakaan sewatoe apa.”
(Disarikan dari Tan Gin Ho, Peringetan dari Wafatnja Majoor Tan Tjin Kie, Druk en Cliche\'s van G. Kolff & Co. B)
Sumber: