Sukseskan Natal, Rakyat Khatam dengan Toleransi

Sukseskan Natal, Rakyat Khatam dengan Toleransi

Kepala Gereja Mater Dei, Romo Sugi Hartanto menyambut baik kehadiran santri dari Demak dengan rebananya. Ini menjadi momen meneguhkan persaudaraan.

Sementara di pelosok NTT lain lagi ceritanya. Kelompok Remaja Mas jid Al Hidayah Kampung Buton, Kelurahan Kota Uneng, Kecamatan Alok, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur ikut mengamankan sejak misa ma lam hingga hari Natal di Gereja Katedral St. Yoseph Maumere.

Para remaja masjid yang berjumlah puluhan orang itu tampak berjaga di gerbang gereja. Ada pula yang menjadi tukang parkir dan mengatur lalu lintas di depan gereja. Puluhan remaja masjid ini mengenakan baju koko dan menggunakan tanda pengenal.

Mereka berbaur dengan aparat keamanan yang bertugas menjaga di depan gereja. Usai misa, puluhan remaja masjid memberi salam kepada jemaat Katolik yang keluar dari gereja.

Para pegiat dunia maya ikutan gembira dengan kerukunan tersebut. Pemilik akun @Alikangtani ikut mengomentari berita di portal berita online yang membahas soal toleransi di Jepara. Di sana, ada masjid dan gereja bersebelahan. Jaraknya tak sampai 10 meter.

“Inilah kerukunan di desaku, gak perlu teriak aku Pancasila, gak perlu teriak paling toleran, gak ada radikal radikul dan juga gak masalah dengan syariat Islam. Rakyat Indonesia sudah khatam dengan toleransi, gak perlu diajari lagi,” ujarnya.

Ustad Haikal Hassan ikut meluapkan unek-uneknya. Dia mengeluh, banyak yang menuduh sebagian ulama bersikap intoleran.

“Bagi umat Islam, toleransi itu sudah mendarah daging. Keadaan aman. Sejak tahun 623, saat seluruh Romawi wajib Kristen, saat seluruh Lersia wajib Majusi, saat seluruh Yerusalem wajib Yahudi, Nabi Muhammad mengatakan semua bebas menganut agama apa pun di wilayah Islam,” ujar @haikal_hassan.

Pengasuh Suluk Maleman, Habib Anis Sholeh Ba’asyin menuliskan, sebuah pesan sekitar ucapan Selamat Natal. Kata dia, jumhur ulama mengharamkan, tapi memang ada yang membolehkannya.

Yang jadi masalah bukan mengucapkan atau tidak mengucapkan, karena masing-masing punya sandaran; tapi merasa lebih unggul dan niat saling mengejek dan memamerkan ketika mengucapkan atau tidak mengucapkan.

“Lagi pula mengucapkan atau tidak mengucapkan, tidak otomatis membuat orang lebih toleran; memaksa atau melarang orang mengucapkannya atau tidak mengucapkannyalah yang justru tidak toleran,” tulisnya. (rmco)

Sumber: