Mengkaji Kasus Hukum Rohadi Dan Kepedulian Komisi III DPR RI
MASIH ingat dengan Rohadi?, seorang mantan Panitera di Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang dtangkap tangan oleh KPK terkait suap kasus hukum penyanyi dangdut Syaiful Jamil beberapa tahun silam.
Ya. Rohadi terus berjuang menuntut keadilan. Itulah sinyal yang dapat kita tangkap dari apa yang dilakukannya itu beberapa waktu belakangan ini.
Terutama ketika Rohadi mendesak para anggota DPR RI dari Komisi III untuk segera memanggilnya, agar dia dapat membongkar begitu banyaknya praktek-praktek mafia hukum di lembaga-lembaga peradilan kita.
Kini, meskipun sudah mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK) kasusnya ke Mahkamah Agung (MA), serta berkirim surat kepada Presiden dan DPR RI, Rohadi tampaknya masih penasaran.
Dia sudah tidak sabar untuk segera mengetahui: Apakah segala upaya yang ditempuhnya selama ini akan berujung pada keadilan yang dia harapkan atau justru menghadapi jalan buntu? Artinya, apakah permohonan PK-nya akan dijawab oleh majelis hakim di MA dengan suatu keputusan yang menggembirakan? Atau, mungkinkah Presiden Jokowi akan menaruh perhatian khusus terhadap kasus seperti ini, sebagaimana Rohadi sampaikan dalam suratnya kepada kepala negara? Begitu juga DPR RI.
Apakah dalam waktu dekat ini Komisi III DPR akan memanggilnya, untuk didengar kesaksiannya dalam kasus suap itu? Memburu keadilan hukum memang bukanlah hal yang mudah. Sepertinya semakin diburu semakin jauh larinya.
Karena itu dibutuhkan kesabaran dan ketabahan tiada tara. Situasi yang seperti itulah tampaknya yang dialami Rohadi hari-hari ini.
Setelah tiga tahun lebih terkungkung di balik tembok Lapas Kelas 1 Sukamiskin Bandung, kini dia merasa semakin tidak dipedulikan orang. Tuntutannya agar dia mendapatkan keadilan hukum juga seperti tidak ada yang mendengarkan.
Dalam banyak kesempatan bicara dengan awak media, dia selalu melontarkan tuntutan agar DPR RI segera memanggilnya. Agar dia dapat membeberkan apa yang dia alami sebagai pesakitan yang tidak mendapatkan keadilan secara hukum.
Karena dirinya yang sama sekali tidak menikmati uang haram itu harus mendekam di balik terali besi selama 7 tahun. Sementara sejumlah majelis hakim dan pihak lain yang ikut terlibat dan telah menikmati uang haram itu justru tidak tersentuh hukum.
“Saya minta para anggota dewan memanggil saya. Jangan ongkang-ongkang kaki saja dengan gaji besar. Sementara rakyat kecil mengeluh minta keadilan dibiarkan saja. Saya minta keadilan dan saya berharap para anggota dewan yang terhormat menunjukkan kepeduliannya terhadap nasib anak bangsa seperti saya,” katanya berulang kali, ketika berjumpa dengan awak media.
Hemat kita, memang sewajarnya Rohadi bicara seperti itu. Sebagai orang yang dikerangkeng di balik jeruji besi, tentu dia merasakan bahwa perjalanan waktu terasa begitu lambat. Penantian satu hari akan dirasakan seperti sudah bertahun-tahun. Apalagi dia melihat bahwa penegakan hukum itu nyata-nyata tebang pilih.
Bahwa pameo “hukum tajam ke bawah tapi tumpul ke atas” itu terbukti terang benderang dalam kasus yang dia hadapi.
Menurut dia, surat yang dia layangkan kepada DPR RI itu bertanggal 23 Mei 2019. Tapi dia baru mendapatkan balasan tanggal 19 September 2019. Dalam surat balasan itu dijelaskan bahwa pengaduannya telah diterima dan telah diserahkan kepada pimpinan Komisi III DPR RI untuk ditindaklanjuti. Persoalannya, kata Rohadi,
Sumber: