Cirebon Power Yakin KLHK dan BPN Memiliki Bukti Valid

Cirebon Power Yakin KLHK dan BPN Memiliki Bukti Valid

\"bahas

RAKYATCIREBON.CO.ID - Badan Akuntabilitas Publik (BAP) DPD RI menggelar pertemuan dengan warga desa Kanci Kulon dan sekitarnya untuk membahas persoalan pembebasan lahan yang dilakukan pihak PLTU II, Kamis (25/1). Pertemuan digelar di ruang Paseban, Sekretariat Daerah Kabupaten Cirebon ini juga menghadirkan pihak PLTU II.

Ketua BAP DPD RI Abdul, Gafar Usman mengatakan, pihaknya mendapatkan laporan untuk menyelesaikan persoalan pembebasan lahan ini. Diduga, hingga kini masih ada warga Desa Kanci Kulon dan sekitarnya yang belum dibayar oleh pihak PLTU II, padahal memiliki sertifikat tanah yang lengkap.

Menurut Usman, setelah menemui Bupati Cirebon, Dr H Sunjaya Purwadisastra MM MSi, pihaknya meminta Pemerintah Kabupaten Cirebon untuk memfasilitasi persoalan ini, dan meminta hasilnya bisa diketahui dalam waktu sebulan kedepan.

“Jadi kita berikan waktu tenggat satu bulan. Kepada Pak Bupati yang bisa memerintahkan camat atau kuwu setempat untuk melakukan klarifikasi bahwa tanah yang dimaksud, siapa pemiliknya dan siapa penggarapnya. Kepada KLHK, kita akan meminta administrasi mana yang menurut mereka telah diganti rugi, kalau disebut  ada tanah tumpang tindih dengan masyarakat bisa disebutkan bagaimana tumpang tindihnya. Kalau dengan begini, maka nanti akan jelas objek tanahnya,” kata Abdul Gafar.

Menurutnya, pihaknya datang ke Cirebon untuk meminta klarifikasi secara keseluruhan dan mencarikan solusi. Pihaknya pun tidak akan meminta kepada Bupati Cirebon untuk mengecek langsung lokasi tanah yang menjadi sengketa.

“Saya percaya kepada Pak Bupati sesuai kewenangannya, sehingga tidak perlu datang ke lokasi. Namun kami akan memantaunya. Intinya sebulan kemudian atau tanggal 25 Februari kami akan minta laporannya seperti apa,” kata Usman.

Menurutnya, jika terbukti ada ketidaksesuaian maka pihaknya akan melihat kewenangan tersebut milik siapa. “Kalau misalnya kementerian harus bertanggung jawab, maka kami akan panggil kementeriannya,” ujar Usman.

Sementara itu, salah satu warga Desa Kanci Kulon, Ruslani (65) mengatakan, dirinya memiliki bukti utuh bahwa Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tidak pernah melakukan pembebasan lahan di tanah yang kini telah dibangun proyek PLTU II. PLTU II  sebagai pihak swasta melakukan kontrak dengan cara menyewa lahan yang diklaim KLHK tersebut.

Menurut Ruslani, pada 1985-1986 atau tahun di mana KLHK mengklaim melakukan pembebasan lahan justru ada pembebasan lahan yang dilakukan oleh PT Marines Samudera Persada.

“Dan PT Marines ini tidak ada sangkut pautnya dengan KLHK. PT Marines ini sebagai perusahaan untuk membebaskan lahan di Kanci Kulon dan sekitarnya yang saat itu akan dijadikan Wood Centre atau pelabuhan kayu, hanya tidak diteruskan. Lalu bagaimana ceritanya KLHK tiba-tiba datang mengklaim telah membebaskan lahan?” katanya.

Menurutnya, saat itu PT Marines membebaskan lahan dengan uang muka Rp450/meter, namun akhirnya tidak diteruskan. Karena tidak diteruskan, warga menganggap tidak ada persoalan karena saat itu sertifikat tanah pun masih dipegang oleh warga.

“Saya tahu betul karena saat itu saya adalah sopir dari PT Marines. Dan di Kanci Kulon, keluarga saya memiliki 3 hektar tanah yang menjadi ahli waris, kemudian saudara saya punya 13 hektar. Sampai sekarang oleh PLTU II tidak dibayar,” katanya.

Sementara itu, Head of Communication Cirebon Power, Yuda Panjaitan mengatakan, pertemuan kemarin hanya mendengarkan pendapat warga dan kuasa hukumnya, kuwu, dan KLHK. Karena minimnya bukti, DPD memberi waktu 1 bulan bagi warga yang mengklaim sebagai pemilik hak/tanah untuk memvalidasi bukti-bukti mereka kepada kuwu, Kecamatan, Pemkab & BPN.

Menurut Yuda, warga yang mengklaim sebagai pemilik hak/tanah juga hanya berbicara tanpa menunjukkan bukti apapun. Hanya berdasarkan katanya, mereka menghadirkan 1 orang tua yang juga hanya mendengar dari orang lain. Sedangkan KLHK membawa dokumen lengkap bukti kepemilikan tanah, hanya saja tidak diberi kesempatan yang cukup untuk menunjukkannya.

“Terkait tanah, memang KLHK yang paling berhak dan tepat untuk menjelaskan. Cirebon Power hanyalah penyewa, yang diatur dalam skema KSP BMN. Kami menghormati proses yang berlangsung nantinya, tetapi kami yakin KLHK dan BPN memiliki bukti yang valid. Tanah lokasi proyek PLTU 2 Cirebon adalah Barang Milik Negara yang sudah tercatat di Dokumen Aset Negara. Tentu ini sudah berdasarkan bukti dan dokumen yang lengkap sejak proses pembelian pada 1984-1986,” jelas Yuda. 

Namun, Yuda menyambut baik inisiatif DPD RI yang melakukan pertemuan tersebut. “Karena menurut kami DPD telah menjalankan fungsi sebagai lembaga Negara. Kita berharap dengan pertemuan ini akan clear untuk persoalan siapapun yang masih mempertanyakan dan mengklaim tanah di PLTU II, meskipun itu adalah hak tiap orang,” ujar Yuda.

Yuda menambahkan, pihaknya akan menunggu hasil pertemuan di bulan depan.  Menuutunya, PLTU 2 akan tetap bekerja seperti biasa, karena Cirebon Power sudah mengantungi semua perizinan dan persyaratan pemerintah. 

“Pemilik tanah adalah KLHK, kita adalah pihak swasta yang telah bekerjasama dengan negara dalam hal ini KLHK. Sejauh ini kita tetap berpegangan teguh kepada kekuatan hukum. Aktivitas di PLTU II pun tidak terganggu karena persoalan ini, dan kita tetap menghormati proses di luar,” katanya.

Sementara itu Kuasa Hukum masyarakat pemilik lahan, Maulana Kamal SH mengaku,  siap mengadu bukti dengan klaim KLHK atas lahan tersebut. Sebab, pihaknya juga sudah memegang bukti terkait dokumen pernyataan antara aparat desa, KLHK, CEPER, BPN, yang  menegaskan bukti kepemilikan lahan warga memang ada.

“Kami menantang KLHK untuk membuktikan kepemilikannya atas tanah itu. Kami siap untuk adu kuat bukti kepemilikan,” tegas Maulana pada Rakcer saat jumpa pers, Jumat (25/1).

Kamal  mencatat, dari empat desa yakni Desa Waruduwur Kecamatan Mundu, Desa Kanci dan Kanci Kulon Kecamatan Astanajapura, dan Desa Astanamukti Kecamatan Pangenan terdapat 176 orang yang mengelola lahan tersebut sebelumnya.

Status tanah yang digarap masyarakat itupun ada yang penggarap di tanah timbul, ada juga yang hak milik. “Tanah yang kami data seluas 235 hektar dan statusnya adalah tanah timbul dan hak milik,” terangnya. (yog/ari)

Sumber: