Angkutan Online Kewenangan Kementerian Kominfo

Angkutan Online Kewenangan Kementerian Kominfo

CIREBON – Komisi I DPRD bersama Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Cirebon secara maraton melakukan konsultasi dan studi banding mengenai penanganan angkutan online. 
\"dishub
Dishub Kota Cirebon konsultasi angkutan online. Foto: Ist./Rakyat Cirebon
Setelah menyambangi Dishub Provinsi Jawa Barat pada Senin (21/8) untuk konsultasi, mereka giliran menyambangi Pemkot Tangerang untuk studi banding.

“Di Tangerang ada kesepakatan bersama antara Forkopimda dengan pihak angkutan online dan angkot untuk saling menghormati, supaya tidak terjadi konflik horizontal,” ungkap Anggota Komisi I DPRD Kota Cirebon, Cicip Awaludin SH.

Menurutnya, permasalahan angkutan online terjadi di hampir semua daerah perkotaan. Sehingga persoalan ini harus menjadi domain pemerintah pusat. Terlebih, kata Cicip, aturan mengenai transportasi online masih sumir.

“Tidak ada aturan baku yang diturunkan pusat. Kalau diserahkan ke daerah masing-masing, pemda akan kesulitan karena tidak ada pijakan aturan di atasnya. Legal standing-nya tidak ada. Kalau angkutan online belum diatur secara jelas, bagaimana mengenai plat nomor, uji kir dan lainnya. Ini kewenangan pusat,” ujarnya.

Selain itu, dikatakan Cicip, yang jadi persoalan juga adalah penggunaan sepeda motor oleh layanan angkutan online. Di dalam UU yang berkaitan dengan angkutan umum, sebut Cicip, motor bukan kategori kendaraan yang bisa dijadikan angkutan umum.

“Menurut UU yang berkaitan dengan angkutan umum. Persoalannya motor, itu bukan angkutan umum. Sedangkan yang terjadi saat ini banyak ojek online pakai aplikasi. Meski di sisi lain, kita juga tidak bisa menghalangi laju perkembangan teknologi,” terangnya.

Pihaknya juga hari ini akan menyambangi Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk berkonsultasi mengenai penggunaan aplikasi angkutan online. 

“Yang bisa menutup atau membuka layanan aplikasi itu dari pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Kominfo,” kata dia.

Politisi PDI Perjuangan itu mengaku khawatir, apabila angkutan online di Kota Cirebon yang berdasarkan penyampaian Dishub Jabar belum memiliki izin, bila dibiarkan akan berpotensi melakukan operasionalnya secara sembunyi-sembunyi.

“Saya khawatirkan, kalau ini diteruskan, angkutan online ini bisa beroperasi secara sembunyi-sembunyi,” katanya.

Di sisi lain, Cicip juga menilai, digugurkannya sejumlah pasal dalam Permenhub tentang Transportasi Online juga menunjukkan bahwa persoalan itu merupakan kewenangan pemerintah pusat. “Permenhub ini domain pusat,” katanya.

Sementara itu, berdasarkan informasi yang dihimpun wartawan koran ini menyebutkan, Mahkamah Agung (MA) telah mencabut sejumlah pasal dalam Permenhub tentang Transportasi Online. 

Pasal yang dicabut diantaranya, Pasal 5 ayat (1) huruf e dan Pasal 19 ayat (2) huruf f dan ayat (3) huruf e yang mengatur tarif angkutan berdasarkan agrometer atau tertera pada aplikasi berbasis teknologi informasi.

Hal itu bertentangan dengan Pasal 183 ayat (2) UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Jalan Raya.

Karena penentuan tarif dilakukan berdasarkan tarif batas atas dan batas bawah, atas usulan dari Gubernur/Kepala Badan yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri, dan bukan didasarkan pada kesepakatan antara pengguna jasa (konsumen) dengan perusahaan angkutan sewa khusus.

Pasal 20, yaitu mengatur kualifikasi kawasan perkotaan dan wilayah operasi transportasi online, Pasal 21 yang mengatur batasan perkiraan kebutuhan armada transportasi online di suatu wilayah, Pasal 27 huruf a yang mengatur minimal sebuah badan hukum minimal memiliki 5 kendaraan atas nama badan hukum dan mengatur pula uji berkala kendaraan bermotor.

Pasal 30 huruf b yang mengatur STNK kendaraan sesuai domisili cabang, Pasal 35 ayat (9) huruf a angka 2 dan ayat (10) huruf a angka 3 yang mengatur tentang Uji KIR, Pasal 43 ayat (3) huruf b angka 1 sub huruf b yang mengatur soal kartu pengawasan asli kendaraan yang diganti.

Pasal 51 ayat (3), huruf c yang mengatur tentang layanan akses aplikasi kepada perorangan sebagai penyedia jasa angkutan, serta Pasal 66 ayat (4) yang mengatur tentang proses peralihan dari perorangan menjadi badan hukum. (jri)

Sumber: