Jumat 24-03-2017,15:00 WIB
CIREBON – Komisi II DPRD Kabupaten Cirebon meminta eksekutif agar memberikan peringatan terhadap pengelola Pasar Sandang Tegal Gubug Kecamatan Arjawinangun. Pasalnya pasar sandang terbesar se-Asia Tenggara tersebut bandel belum bayar pajak bumi bangunan (PBB), hingga mencapai Rp300 juta.
|
Cakra Suseno. dok. Rakyat Cirebon |
Demikian disampaikan Ketua Komisi II DPRD, R Cakra Suseno pada Rakcer, Kamis (23/3). Dikatakan, Badan Pengelolaan Pendapatan Daerah (BPPD) untuk segera memberikan warning kepada pihak pengelola pasar tersebut.
\"Dinas terkait harus memberikan peringatan keras pada pengelola, karena jumlah tunggakannya cukup besar,” tegas Cakra.Politisi Gerindra itu menambahkan, pemerintah Kabupaten (Pemkab) Cirebon sebetulnya sudah cukup bijaksana kaitan dengan aturan pajak. Artinya pemerintah sudah menghilangkan bunga, sehingga yang dibayarkan pokoknya saja. Namun masih juga banyak yang tidak patuh.
\"Didalam kebijakan daerah itu sudah sangat ringan, si pemohon cukup membayar pokoknya saja tapi masih tetap tidak patuh, untuk itu perlu adanya tindak lanjut,\" jelasnya. Diakuinya, saat ini pihaknya juga tengah mengumpulkan data-data pendukung sebelum melakukan kunjungan kerja ke pasar tersebut.
Sementara itu salah satu pedagang pasar, H Ismail Fahmi mengungkapkan, persoalan di pasar Tegal Gubug cukup pelik. “Untuk menyelesaikan persoalan ini sebenarnya kuncinya di pemerintah desa dan pengembang,” terangnya.
Baru-baru ini persoalan yang muncul adalah kaitan dengan perpanjangan sertifikat hak guna bangunan (SHGB). Masa akhir perpanjangan SHGB blok A sampai sebagian blok E selesai pada tahun 2015 lalu, kemudian blok E-G selesai di tahun 2016 sementara blok H-I di tahun 2017 ini.
“Persoalannya perpanjangan SHGB ini dibebankan pada pedagang, seharusnya tanggungjawab pengembang seutuhnya. Kami merasa keberatan jika harus dibebani bayar pajak yang senilai Rp300 juta itu,” tegasnya.
Diakhir ia menambahkan, kaitan dengan hal itu masyarakat merasa bingung, ditambah lagi dengan cueknya pemerintah desa setempat. “Pengembang juga tidak pernah ada untuk menyelesaikan persoalan itu,” imbuhnya. (ari)