Ini Soal Pelanggaran Berat Ketum PBNU, Bukan Perselisihan
KH Imam Jazuli Lc MA menanggapi polemik PBNU, Ini soal pelanggaran berat Ketum PBNU, bukan perselisihan. FOTO : DOC/RAKYAT CIREBON--
*** KH Imam Jazuli Lc MA: Apanya yang Mau Di Islah?!
RAKYATCIREBON.DISWAY.ID – Polemik yang terjadi di tubuh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), bukanlah perselisihan biasa antar pengurus yang bisa diselesaikan dengan narasi islah atau perdamaian.
Polemiknya berakar pada tuduhan pelanggaran berat. Dilakukan oleh Ketua Umum (Ketum) PBNU, KH Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya, sebagaimana ditegaskan oleh beberapa pihak internal Syuriah, bahkan Rois Am.
Belakangan, ada upaya sistematis dari pihak pendukung untuk mengaburkan substansi masalah. Menggiring opini publik seolah-olah yang terjadi hanyalah konflik internal biasa. Demi membuka pintu keluar melalui islah dari konsekuensi pelanggaran yang jelas.
"Ini justru bisa mengaburkan fakta dengan narasi simpel perselisihan," kata Pengasuh Pesantren Bina Insan Mulia, KH Imam Jazuli Lc MA.
BACA JUGA:DPR Komisi IX Soroti Kacau-Balau Pelaksanaan Program MBG di Kabupaten Cirebon
Pihak yang menghendaki islah, lanjut Pengurus PBNU periode 2010-2015, termasuk beberapa Wakil Ketum PBNU, secara konsisten menyebut situasi ini sebagai konflik atau kisruh internal. Harus diredam demi keutuhan organisasi.
"Narasi ini sengaja dibangun untuk menutupi sifat pelanggaran yang dituduhkan," katanya.
Pemecatan atau pemberhentian Ketum PBNU yang tertuang dalam surat edaran Syuriyah adalah sangsi, yang didasari oleh dugaan pelanggaran terhadap AD/ART dan peraturan organisasi, termasuk isu terkait pengelolaan keuangan, bukan sekadar perbedaan pendapat.
Jika masalahnya adalah pelanggaran berat, maka mekanismenya adalah penegakan aturan organisasi dan pertanggungjawaban. Bukan islah. Analogi sederhana: sebuah tindakan "salah" dari anak, tidak bisa orang tua cukup menyelesaikan hanya dengan "perdamaian", tanpa sangsi.
" Dalam kaca mata hukum, pelaku tidak bisa diselesaikan hanya mengandalkan mediasi, tanpa proses hukum yang berlaku," tegasnya.
Maka, dengan menggiring opini ke arah perselisihan, substansi pelanggaran berat menjadi kabur. Tuntutan akuntabilitas bisa dinegosiasikan atau bahkan diabaikan. Upaya paling kentara dalam membangun narasi islah adalah melibatkan dan mempolitisasi para kiai sepuh.
Forum sesepuh NU memang telah berkumpul dan menyerukan islah untuk menghentikan polemik publik (29/11). Seruan ini, meskipun didasari niat baik untuk menjaga marwah dan keutuhan NU, secara tidak langsung dimanfaatkan oleh pihak terkait untuk memperkuat argumen bahwa masalahnya hanya "salah paham" yang butuh mediasi.
Padahal, polemik ini tidak memerlukan islah karena ada pelanggaran berat yang telah terjadi. Para kiai sepuh, dengan kharisma dan otoritas moralnya, seharusnya didudukkan sebagai penegak aturan dan keadilan, bukan sekadar juru damai untuk pelanggaran serius.
Memanfaatkan wibawa mereka untuk menutupi kesalahan struktural adalah bentuk politisasi yang merugikan marwah ulama itu sendiri.
Menurut KH Imam Jazuli, organisasi sebesar NU memiliki mekanisme dan aturan yang jelas terkait pemberhentian fungsionaris yang melanggar AD/ART. Surat edaran PBNU yang sempat beredar menyebutkan rujukan pasal-pasal spesifik dalam Peraturan Perkumpulan Nahdlatul Ulama.
"Ini menunjukkan bahwa masalahnya adalah soal kepatuhan terhadap hukum organisasi, bukan soal 'baper' atau konflik personal," katanya.
Islah adalah jalan terbaik untuk meredakan kisruh elite (seperti yang diungkapkan pakar hukum Unnes), tetapi tidak bisa menjadi jalan pintas untuk menghindari konsekuensi hukum organisasi dari pelanggaran berat.
Jalan satu-satunya yang bermartabat adalah menjalani proses sesuai aturan yang berlaku, memastikan audit (jika terkait keuangan) berjalan tuntas, dan menegakkan keadilan di internal organisasi.
Jadi, upaya mengaburkan masalah pelanggaran berat menjadi sekadar "perselisihan" adalah taktik untuk menghindari pertanggungjawaban. PBNU membutuhkan akuntabilitas dan penegakan aturan yang tegas, bukan islah yang prematur dan menutupi substansi masalah.
Marwah organisasi dan para kiai sepuh harus dijaga dengan menegakkan kebenaran, bukan dengan kompromi terhadap pelanggaran. Maka keputusan pemecatan dari Syuriah secar kolektif dan kolegial tidak elok kalau dibenturkan dengan para kiai sepuh. (zen)
Sumber: