RAKYATCIREBON.ID, CIREBON – Revitalisasi pasar desa, seringkali menimbulkan gejolak. Setelah munculnya gejolak di Pasar Jungjang, kali ini, gejolak itu muncul ketika dilakukan revitalisasi Pasar Desa Bodelor Kecamatan Plumbon. Para pedagangnya bentrok, dengan aparat desa setempat. Para pedagang mengadu, kepada anggota DPRD. Meminta agar diberikan solusi terbaik.
"Kami sifatnya hanya menerima aspirasi dari para pedagang pasar Bodelor atau Pasar Caplek, terkait revitalisasi pasar. Mereka meminta agar dilakukan sinkronisasi dulu," kata Wakil Ketua Komisi II DPRD Kabupaten Cirebon, M Ridwan MPdI.
DPRD pun kata Ridwan, meminta sementara waktu, agar semua pihak menahan diri. Sebenarnya tutur politisi PKS itu, perwakilan para pedagang sebelumnya sudah melakukan audiensi.
Hanya saja, sehari setelahnya, aparat desa mengintruksikan agar dilakukan pengosongan pasar lama. Pindah ke pasar darurat. Hal itulah, yang kemudian memicu terjadinya bentrokan kedua belah pihak.
"Para pedagang sebenarnya sudah mau diarahkan untuk menahan diri. Tapi karena langkah aparat desa itulah, yang kemudian mendapat reaksi dari para pedagang," katanya.
Prosesnya itu, rupanya sudah berlangsung lama. Komisi II juga sudah melakukan audiensi bersama para pedagang, serta dinas terkait. Termasuk dengan pihak pemerintah desa. Memang ada beberapa point, yang kurang sinkron ketika berkaca pada pengajuan dari pihak desa.
"Mulai dari harga yang ditawarkan, kemudian postur bangunan yang designnya itu dua lantai. Dinilai berlebihan," katanya.
Alasannya karena statusnya itu pasar tradisional, pasar desa. Para pedagang menghendakinya cukup satu lantai saja. Lainnya, terkait tenor dan harga yang ditawarkan, masih harus dikomunikasikan.
Tapi, dilihat dari kondisi pasar saat ini, memang sudah layak untuk direvitalisasi. Para pedagang pun sepakat dengan wacana itu. Sudah terlalu lama, dibiarkan tak ada perbaikan. Sejak dibangun tahun 1980 lalu.
"Sudah pada hancur. Belum pernah direvitalisasi. Atapnya ambruk," katanya.
Harusnya kepala desa itu, ketika membangun, semangatnya untuk kepentingan warga. Bicaranya bagaimana memajukan daerahnya. Ketika misi yang dibawanya berbeda dan memerlukan cost tinggi, tinggal dikomunikasikan dengan para pedagang. Misalkan pedagang tidak memerlukan pasar dalam kondisi tinggi atau dua lantai, dan para pedagang tidak mampu harusnya bisa dikomunikasikan.
"Apa keinginannya. Bagaimana dengan harganya, berapa kemampuannya. Kan gitu. Sistemnya sewa atau angsuran. Kalau sekarang kuwu itu, ada arogansi," katanya.
Hal itu, sebagai bentuk antisipasi terjadinya gejolak. Pasalnya, gejolak revitalisasi pasar desa bukanlah kali pertama. Sebelumnya, sudah sering terjadi. Salah satu contohnya revitalisi Pasar Jungjang. Hingga kini, belum terselesaikan.
Ketika harus memilih, ia lebih sepakat pasar desa itu, dikelola daerah. Para pedagangnya nanti bisa mendapatkan kepuasan lebih. Tapi, tentu ada mekanisme yang harus dilewati. Harus ada penyerahan aset terlebih dulu. Dari aset desa menjadi aset Pemda.
Pihaknya memberikan rekomendasi untuk jangka pendek, agar bisa menurunkan tensi demi meredakan konflik. "Kan ketika ada intruksi harus mengosongkan pasar, terjadi benturan antara pihak desa dan para pedagang. Karena pedagang tidak mau pindah. Kemudian kalaupun harus pindah pasar daruratnya harus layak. Bukan hanya soal tempatnya tapi juga penempatannya. Yang kios, los ya sesuaikan. Jangan sampe pindah ke pasar darurat disananya malah rebutan lagi," pungkasnya. (zen)