RAKYATCIREBON.ID, MAJALENGKA - Ada tradisi unik yang kembali digelar oleh warga Kabupaten Majalengka. Warga asal Blok Minggu Desa Bantarwaru, Kecamatan Ligung membuat bubur yang hanya ada pada bulan Muharram (hitungan bulan hijriah), yang pada tahun ini dalam hitungan bulan nasional jatuh pada bulan Agustus.
Hal itu yang menyebabkan, bubur tersebut dinamakan Bubur Sura. Tentu bubur itu bukan seperti bubur ayam atau bubur kacang hijau yang selama ini mudah dijumpai. Penanaman Bubur Sura sendiri diambil dari naman bulan Muharram versi Jawa yakni Sura. Bagi sebagian kalangan, khususnya generasi masa kini, bubur jenis ini mungkin masih cukup asing.
Para warga tersebut menggelar tradisi ini sudah berlangsung turun-temurun sejak zaman nenek moyang. Dengan konsep gotong royong, warga beramai-ramai membuat Bubur Sura di Pondok Pesantren Darussalam, Minggu (21/8).
Sama seperti yang dilakukan para pendahulu, Bubur Sura yang dibuat Emak-emak saat ini bermodalkan urunan dari warga sekitar dan orang tua Santri. Dari hasil urunan itu terkumpul sekitar 20 kilogram beras, untuk selanjutnya dibuat Bubur Sura.
“Alhamdulillah kemarin warga kami sudah menggelar tradisi yang masih terus berlanjut sampai saat ini, yakni tradisi membuat bubur sura. Digelar secara urunan, yang kemudian setelah jadi dibagikan juga ke masyarakat sekitar,” ujar pengasuh Pondok Pesantren Darussalam, Ahmad Arrofiq Showi.
Selain hanya bisa ditemukan pada bulan Sura atau Muharram saja, penampilan dari Bubur Sura ini berbeda dengan bubur pada umumnya. Jika pada umumnya bubur berwarna putih, Bubur Sura ini memiliki warna yang cukup mencolok yakni kuning. Selain itu, tidak ada minyak bawang yang berfungsi sebagai kuah seperti yang terlihat pada bubur ayam.
Bubur Sura ini sama sekali tidak ada bahan cair sebagai pengganti kuah. Pada bagian atas, Bubur Sura cukup kaya dengan toping. Pada zaman dulu telur dadar suwir, kol, dan cabe merah adalah beberapa toping yang ada pada Bubur Sura.
Pada zaman nenek moyang, bubur Sura juga dilengkapi dengan ubi-ubian yang dimasak jadi satu bersama besar, juga biji asam yang direbus sampai empuk. Namun saat ini, tambahan tersebut tidak terlihat, mengingat bahan-bahan tersebut sudah mulai sulit didapat.
“Konon kata orang tua, ini diambil dari sejarah Nabi Nuh, setelah selamat dari banjir besar. Beliau bersama pengikutnya memasak setiap bahan-bahan yang tersisa, selamat dari Banjir itu,” ujar Ahmad.
“Sehingga, orang tua dulu bikin Bubur Sura itu, ya ada ubi-ubian. Yang mungkin oleh generasi sekarang dianggap aneh. Karena Bubur kok ada ubinya,” ucapnya.
Selain melestarikan tradisi orang tua zaman dulu, momen tersebut juga sekaligus untuk mempererat kebersamaan dan gotong royong. Pasalnya, dalam prosesnya, warga bahu-membahu dari mulai urunan bahan hingga membagikan kepada masyarakat.
“Berbagi dengan sesama, mempererat persaudaraan. Berharap ada berkah yang yang kami dapatkan,” jelas dia. ( hsn)