Terpuruk Imbas Larangan Study Tour: 75 Persen Pendapatan Hilang, Armada Terpaksa Dijual

Senin 24-11-2025,13:13 WIB
Reporter : Zezen Zaenudin Ali
Editor : Arief Mardhatillah

CIREBON, RAKYATCIREBON.DISWAY.ID – Kebijakan larangan study tour yang diterapkan Pemerintah Provinsi Jawa Barat berdampak serius pada pelaku usaha jasa transportasi pariwisata.

Heru, Manajer Operasional Jalu Trans, menyebut pendapatan pengusaha bus pariwisata seperti dirinya, anjlok hingga 75 persen sejak aturan larangan study tour diberlakukan.

BACA JUGA:PHRI: Okupansi Hotel Lesu, Kebijakan Larangan Study Tour Dinilai Per Berat Kondisi

Menurut Heru, dari 14 unit bus yang sebelumnya dioperasikan, kini hanya tersisa 7 unit. Sebanyak 60 persen armada terpaksa dijual karena tidak lagi mampu menutup biaya operasional.

“Dampaknya besar sekali. Orderan yang biasanya bisa menghasilkan Rp40–50 juta per bulan, sekarang paling bagus hanya Rp20–25 juta,” ujarnya.

Untuk bertahan, sebagian armada dialihkan ke layanan Antar Kota Antar Provinsi (Akap), meski pendapatannya jauh di bawah sektor pariwisata.

“Kami berusaha main aman. Tapi sampai sekarang belum ada solusi. Kami tidak mempermasalahkan kebijakan KDM kalau memang ada solusi. Nyatanya, sampai saat ini tidak ada. Malah merusak,” tutur Heru.

Heru menegaskan, dampak larangan study tour tidak hanya dirasakan pengusaha transportasi, tetapi juga masyarakat yang bergantung pada ekosistem pariwisata.

“Dari sektor bus saja, satu unit menghidupi dua kepala keluarga. Ketika armada tidak jalan, mereka kesulitan bahkan untuk sekedar membeli beras,” ujarnya.

Ia juga menyayangkan framing negatif terhadap kegiatan study tour yang digaungkan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi. Itu membuat sekolah-sekolah takut melakukan perjalanan edukasi.

“Guru khawatir, orang tua takut. Padahal warga Jabar yang punya kendaraan pribadi itu terbatas. Dari 10 keluarga, rata-rata hanya satu yang punya mobil. Study tour itu kesempatan edukasi bagi sembilan keluarga lainnya,” jelas Heru.

Di sisi lain, Heru menilai destinasi edukasi di Jawa Barat belum siap menjadi pengganti kegiatan study tour lintas daerah.

“Jabar ini wisata paling mahal. Belum bisa dibenahi, belum ada solusi. Tapi kita dipaksa. Dari luar daerah pun banyak yang tidak berani masuk ke Jabar,” katanya.

Menurut Heru, dampaknya berantai. Dirasakan juga oleh pelaku UMKM di sekitar destinasi wisata. Banyak yang mengeluh karena omzet menurun drastis.

Untuk menyelamatkan usaha, para pengusaha bus kini mengandalkan segmen pasar yang masih tersisa. Yakni pihak korporasi. Namun langkah ini dinilai belum cukup.

Pihaknya mengaku telah menyampaikan keluhan. September lalu, bersama pengusaha oto bus se Jabar. Sayangnya, Dedi Mulyadi tidak merespon.

“Sejak September kami sudah ke Bandung, 200 unit mewakili 200 perusahaan oto bus se-Jabar. Tapi tidak juga ditemui. Yang muncul hanya komentarnya yang diunggah diakun media sosialnya, tanpa apresiasi,” kata Heru.

Heru menyebut kondisi saat ini lebih berat dibandingkan masa pandemi Covid-19.
“Ekonomi sedang kacau. Duit tidak berputar. Beliau mengambil kebijakan di tengah kondisi ekonomi yang sedang ancur. Ini lebih parah dari zaman Covid,” tegasnya.

Ia berharap pemerintah segera memberikan solusi konkret agar roda perekonomian sektor transportasi dan pariwisata dapat kembali bergerak. (zen)

Kategori :