RAKYATCIREBON.ID-Mantan Sekretaris Kementerian BUMN Said Didu dan Wakil Ketua Umum Partai Gelora, Fahri Hamzah saling balas komentar melalui media sosial twitter. Mulanya, Fahri Hamzah membantah tudingan bahwa Partai Gelora melanggengkan dinasti Politik dengan mendukung anak dan menantu Presiden Joko Widodo dalam pilkada 2020
Menurut Fahri, tidak ada dinasti politik dalam negara demokrasi. Sebab kekuasaan dalam demokrasi tidak diwariskan secara turun temurun. Namun mereka dipilih melalui proses politik. Berbeda dengan sistem yang ada pada kerajaan.
Pendapat tersebut dibantah Said Didu. Bagi deklarator KAMI ini, penguasa yang mencalonkan keluarganya saat masih menjabat termasuk dinasti politik.
“Bung Fahri Hamzah yang terhormat, saya tetap berpendapat bahwa penguasa yang mencalonkan keluarganya untuk posisi jabatan politik saat masih berkuasa adalah perwujudan dinasti politik.” Ujar Said Didu di akun twitternya, Sabtu (19/9).
“Biarlah saya dan yang berpendapat demikian anda cap sebagai orang bodoh. Selamat dengan “arah barunya”. Imbuh Said Didu.
Fahri Hamzah kemudian menjelaskan bahwa, dinasti itu pewaris kekuasaan yang diwariskan melalui darah. Biasanya dinasti bisa dilihat pada sistem kerajaan atau dinasti. Fahri kemudian meminta Said Didu agar tidak telalu dipikirkan sebab ini hanya pemilihan kepala daerah.
“Bang Said Didu, pertama itu teknis di lapangan, tidak terkait kerajaan atau dinasti. Kedua, dinasti itu pewarisan kekuasaan melalui darah. Sementara ini kan pemilu. Ada kemungkinan menang dan kalah.” Jelas Fahri. Santai aja, jangan tegang menghadapi pilkada. Ini demokrasi lokal yang biasa.” Sambungnya.
Tidak terima, Said Didu masih pada kesimpulanya. Bahwa bagi dia, dinasti bukan saja pada sistem kerajaan, tetapi juga pada proses politik.
“Saya selalu santai aja kok. Makanya saya katakan saya rela dikatakan bodoh kalau saya berpendapat bahwa pengusasa yang mencalonkan keluarganya saat berkuasa adalah perwujudan dinasti politik atau kekuasaan. Bagi saya, dinasty bisa lewat proses “demokrasi” atau lewat penunjukan.” Ungkap Said Didu.
Fahri kemudian lebih jauh memaparkan bahwa dalam tradisi dinasty, pewaris kerajaan tidak mengambil resiko kalah menang. Tetapi dalam proses pilkada, peserta pilkada punya peluang kalah dan menang.
“Calon mengambil resiko. Tapi biar saja orang mengambil resiko. Anak pak Jokowi dan anak pak Makruf mengambil resiko.” Kata Fahri.
Dikatakan, dalam pilkada kalau tidak suka dengan kandidat, kalahkan di kotak suara. Itu caranya.
“Saya mendengar banyak anak pejabat yang kalah. Di kota Makasar pernah kotak kosong mengalahkan kandidat yang di-backup oleh para pejabat tinggi di republik ini. Rakyat memilih kotak kosong.” Pungkas dia. (dal/fin).