RAKYATCIREBON.ID-Grasi dari Presiden Joko Widodo untuk terpidana korupsi Annas Maamun berpotensi mendorong narapidana korupsi lain meminta pengampunan dari Presiden dengan alasan yang sama. Alasan sakit yang kerap disalahgunakan untuk lolos dari jerat hukum atau ”pelesiran” ke luar penjara kini berpeluang disalahgunakan demi grasi.
”Isu penegakan hukum itu adalah keadilan, maka wajar saja kalau nantinya ada peningkatan permintaan grasi. Sebab, hukum yang adil itu untuk semua orang tanpa kecuali,” kata Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang saat dihubungi Kompas, Jumat (29/11/2019).
Seperti diberitakan sebelumnya, grasi kepada mantan Gubernur Riau Annas Maamun diberikan Presiden pada 25 Oktober 2019. Grasi disebut diberikan dengan alasan kemanusiaan, yaitu karena Annas sakit-sakitan. Dengan grasi, masa tahanan Annas menjadi 6 tahun dari vonis kasasi Mahkamah Agung (MA) 7 tahun penjara. Annas akan bebas 3 Oktober 2020 dari sebelumnya tahun 2021.
Annas divonis bersalah dalam korupsi alih fungsi lahan yang merugikan negara Rp 5 miliar. Dia terbukti menerima suap 166.100 dollar AS atau sekitar Rp 2,34 miliar, Rp 500 juta, dan Rp 3 miliar dari janji Rp 8 miliar dalam bentuk dollar Singapura.
Pemberian grasi kepada pelaku kejahatan luar biasa itu kemudian memantik kesan Presiden tak serius memberantas korupsi.
”Kalau ada kesan (semangat pemberantasan korupsi semakin luntur) yang ditangkap publik, saya kira wajar. Saya bisa memaklumi kesan itu. Indeks persepsi korupsi kita pun lambat naiknya,” kata Saut.
Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari menyampaikan, pemberian keringanan hukuman kepada narapidana korupsi telah melahirkan kesan bahwa Presiden tidak terlalu peduli dengan upaya pemberantasan korupsi. Hal ini pun berpotensi menimbulkan efek samping.
²Kemudahan memberikan grasi tentu akan menimbulkan matinya efek jera dalam upaya pemidanaan para pelaku korupsi. Orang-orang tidak lagi khawatir korupsi karena banyak cara meringankan, bahkan membebaskan mereka,” katanya.
Efek samping lainnya, peningkatan permohonan grasi kepada Presiden dengan alasan yang sama seperti dimohonkan Annas, yaitu sakit. Ini menimbulkan kekhawatiran alasan sakit bisa disalahgunakan demi memperoleh grasi.
Alasan sakit selama ini kerap dipraktikkan tersangka atau terdakwa korupsi untuk lepas dari jerat hukum. Selain itu, alasan sakit kerap pula dipraktikkan oleh narapidana korupsi untuk bisa ”pelesir” ke luar penjara.
Menurut Feri, peraturan perundang-undangan hanya mensyaratkan Presiden meminta pertimbangan Mahkamah Agung untuk memperoleh grasi. Namun, ke depan, akan lebih baik jika Presiden juga meminta pertimbangan KPK. Ini khususnya bagi terpidana korupsi yang kasusnya ditangani KPK.
”KPK juga, kan, punya dokter untuk menentukan apakah kondisi kesehatan atau fisik seorang narapidana korupsi betul-betul mengganggunya menjalani pidana. Sebab, beberapa narapidana sering kali mendramatisasi sesuatu,” ujarnya.
Pengajar hukum pidana dari Universitas Katolik Parahyangan, Agustinus Pohan, menambahkan, alasan sakit yang jadi pembenar untuk memperoleh grasi seharusnya diperketat. ”Tidak bisa hanya sekadar sakit. Harus dipastikan narapidana itu memang tidak bisa lagi berada di penjara, seperti penderita stroke yang tidak mungkin lagi disembuhkan,” ujarnya.
Selain kasus alih fungsi lahan, Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, Annas juga telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap pengesahan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) Riau 2014-2015.
Dalam kasus ini, ada empat anggota DPRD Riau periode 2009-2014 yang disuap dan divonis bersalah. Keempat anggota DPRD itu adalah Ahmad Kirjuhari, Suparman, Johar Firdaus, dan Riki Hariansyah.