Menurut Sukamta, urusan penanganan radikalisme sebaiknya dikembalikan ke BNPT. Sementara untuk penindakan diserahkan kepada Detasemen Khusus 88 Antiteror.
Dosen Administrasi Publik Universitas Brawijaya, Nana Abdul Aziz, kurang setuju dengan kanal pelaporan. Se bab, batasan tentang radikalisme, terlalu remeh dan tidak jelas. PNS yang hanya memberikan tanda like sebuah status bisa dilaporkan.
Dia menilai, kanal pelaporan ASN untuk penanganan radikalisme tidak dikenal dalam Undang-Undang ASN. Di Undang-Undang ASN, pemantauan terhadap pegawai pemerintah dilakukan internal pengawas yang dilakukan secara berjenjang.
Jika ditemukan ada ASN terlibat, yang pertama harus dilakukan adalah pembinaan dan melanjutkan sanksi disiplin.“Harus dipahami konsep utama dalam ASN adalah pembinaan. Bukan dengan kanal laporan,” kata Nana, saat dikontak, tadi malam.
Aktivis HAM, Haris Azhar, menilai penerbitan SKB ini untuk membungkam PNS yang kritis. Pasalnya, sampai sekarang radikalisme ini tidak memiliki definisi konkret.
Ia juga mengkritik mekanisme pelaporan PNS. Menurut dia, mekanisme itu tidak memiliki payung hukumnya.“Mekanisme ini juga rentan fitnah. Ini seperti zaman 1965, tuduhan yang membunuh ka pasitas seseorang. Labelling,” kata Haris, kemarin. (rmco)