Kritik Publik terhadap Pemerintah Lewat Bendera One Piece
TANGKAPAN LAYAR. Bendera One Piece berjejer dipinggir jalan dari video Isma Tlalyh: FOTO: IST/RAKYAT CIREBON--
CIREBON, RAKYATCIREBON.DISWAY.ID – Menjelang peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Republik Indonesia, jagat media sosial dihebohkan dengan fenomena pengibaran bendera One Piece.
Pengibaran bendera berwarna hitam dengan gambar tengkorak bertopi jerami ini menarik perhatian publik. Dianggap mencerminkan bentuk ekspresi kekecewaan terhadap pemerintah.
Pengamat politik Sutan Aji Nugraha menilai fenomena ini sebagai bagian dari dinamika sosial. Perlu dimaknai secara lebih mendalam.
“Fenomena ini menunjukkan bagaimana simbol dari budaya populer dapat dijadikan saluran ekspresi kekecewaan terhadap kondisi pemerintahan. Ini mirip dengan simbol ‘Indonesia Darurat’ atau tagar #indonesiagelap yang sempat viral sebelumnya,” ujar Sutan Aji, Minggu (3/8).
Ia menegaskan, meskipun tidak ada larangan eksplisit terhadap pengibaran bendera dari budaya pop, dalam konteks pengibaran bersama, posisi bendera Merah Putih tidak boleh berada di bawah bendera lain. Termasuk bendera fiksi seperti One Piece.
“Pemerintah perlu memaknai ini sebagai input untuk perbaikan, bukan semata pelanggaran hukum,” tambahnya.
Meski demikian, Sutan mengingatkan bahwa ekspresi semacam ini tetap memiliki risiko. Apabila melanggar ketentuan formal mengenai penghormatan terhadap simbol negara.
"Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan," katanya.
Senada dengan itu, mahasiswa Siber UIN Syekh Nurjati Cirebon, Moh Rizki Nur Ripa’i, menyebut kemunculan bendera One Piece sebagai kritik sosial yang muncul secara organik.
“Kehadirannya organik. Kalau di kalangan pecinta One Piece mungkin biasa. Tapi sekarang sudah menyebar ke masyarakat luas, yang mulai hopeless dengan pemerintah,” katanya.
Belakangan, pengibaran bendera One Piece dianggap makar. Upaya memecah belah. Kata Pai--sapaan untuknya, kalau mengibarkan bendera one piece dianggap makar, maka Indonesia sangat merepresentasikan apa yang ditulis oleh Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam buku "How Democracies Die”.
" Yakni kematian demokrasi bukan lagi dalam bentuk otoriter absolut, tapi pengondisian demokrasi semu secara legal dengan cara memanipulasi hukum yang ada," tegasnya.
Fenomena ini pertama kali mencuat melalui unggahan-unggahan di media sosial seperti TikTok, Instagram, dan X (dulu Twitter), di mana tampak bendera One Piece berkibar di sejumlah kendaraan, khususnya truk-truk yang melintas di jalan raya.
One Piece sendiri adalah manga populer karya Eiichiro Oda, yang bercerita tentang perjalanan Luffy, seorang bajak laut muda yang bercita-cita menjadi raja bajak laut. Simbol tengkorak bertopi jerami dalam cerita tersebut sering diartikan sebagai lambang kebebasan dan perlawanan terhadap ketidakadilan.
Beberapa warganet menyambut kampanye ini secara positif, menyebutnya sebagai simbol harapan akan dunia yang lebih damai. “Saya kira ini bagian dari kampanye kreatif untuk mengingatkan kita akan pentingnya hidup damai, apalagi menjelang hari kemerdekaan,” tulis akun Jepfry1.
Namun, tidak sedikit pula yang menganggapnya sebagai bentuk perlawanan atau sindiran tajam terhadap kebijakan pemerintah. Sejumlah komentar bernada kritis muncul di media sosial.
“Rekening nganggur dibekukan. Tanah nganggur disita. Duit kondangan kena pajak. Giliran kita nganggur didiemin,” tulis pengguna bernama Moeftahir.
Salah satu video viral bahkan memperlihatkan bendera One Piece berkibar lebih tinggi dari Merah Putih, dengan narasi bernada sinis: "Ada negara yang bangga bisa merampok dan memiskinkan rakyatnya." Video itu mendapat lebih dari 1.800 likes.
Di sisi lain, sebagian warganet mengingatkan pentingnya menjaga penghormatan terhadap simbol negara, terlebih menjelang HUT Kemerdekaan.
“Viral boleh, tapi bagi Indonesia bendera kebangsaan tetaplah Merah Putih,” tulis Evan, anggota salah satu grup WhatsApp.
Hingga saat ini, belum diketahui siapa aktor di balik gerakan ini. Meski fenomena tersebut belum terlihat secara nyata di wilayah Cirebon, respons warganet di media sosial terus berkembang dan menjadi topik hangat.
Publik pun bertanya-tanya, apakah ini hanya tren musiman menjelang 17 Agustus, atau benar-benar ekspresi perlawanan yang lahir dari keresahan masyarakat terhadap pemerintah. (zen)
Sumber: