Maulid Nabi: Dari Seremoni ke Gerakan Progresif Bangsa

Maulid Nabi: Dari Seremoni ke Gerakan Progresif Bangsa

Fajar Rahmawan SAg, Pegiat Literasi. FOTO: IST/ RAKYAT CIREBON--

Meneladani Nabi berarti melawan korupsi dengan ketegasan, konsistensi, dan integritas—meski jalan itu penuh resiko. 

Karena hanya dengan itu bangsa ini bisa keluar dari lingkaran setan ketidakadilan dan kemiskinan yang diwariskan oleh budaya korupsi yang mendarah daging.

Kedua, Nabi Muhammad ﷺ sejak awal dakwahnya tampil sebagai pembela kaum tertindas: budak yang direndahkan martabatnya, anak yatim yang terabaikan, dan fakir miskin yang dilupakan oleh sistem sosial Quraisy. 

Beliau menolak struktur masyarakat yang hanya menguntungkan para pemilik kuasa dan harta, lalu menegakkan ajaran yang mengangkat harkat manusia tanpa memandang kelas sosial. Keberpihakan Nabi bukan basa-basi, tetapi diwujudkan dalam tindakan nyata: membebaskan budak, mengasuh yatim, dan mewajibkan zakat agar distribusi kekayaan lebih adil.

Jika teladan itu diterjemahkan ke Indonesia hari ini, maka seharusnya kebijakan negara tidak hanya disusun demi kenyamanan pemilik modal, investor besar, atau elit politik, tetapi benar-benar berpihak pada rakyat kecil. Yatim, fakir, dan kelompok marjinal masa kini adalah buruh dengan upah minim, petani yang tanahnya tergerus proyek, nelayan yang kalah oleh korporasi, hingga rakyat miskin kota yang dipinggirkan atas nama pembangunan.

Sayangnya, banyak kebijakan kita justru lebih ramah terhadap kepentingan modal ketimbang kebutuhan rakyat. 

Regulasi sering diarahkan untuk memudahkan investor besar, sementara aspirasi wong cilik hanya dijadikan jargon kampanye. 

Meneladani Nabi seharusnya berarti merumuskan kebijakan yang menjamin keadilan sosial, akses pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan perlindungan bagi mereka yang paling lemah dalam struktur masyarakat.

Dengan demikian, keberpihakan pada rakyat kecil bukan sekadar pilihan politik, melainkan kewajiban moral dan spiritual jika kita benar-benar ingin meneladani Nabi.

Ketiga, Ketika Nabi Muhammad ﷺ hijrah ke Madinah, beliau menghadapi masyarakat yang sangat majemuk: ada suku Aus dan Khazraj yang lama berseteru, ada komunitas Yahudi, serta berbagai kelompok dengan latar belakang sosial yang berbeda. 

Nabi tidak membangun kekuasaan dengan memperuncing identitas suku maupun agama, tetapi justru menyatukan mereka dalam sebuah Piagam Madinah yang menjamin hak, kewajiban, dan rasa aman bersama. Persaudaraan lintas suku dan agama menjadi fondasi persatuan kota itu.

Pelajaran penting ini seharusnya tercermin dalam kehidupan berbangsa di Indonesia. Dengan keragaman etnis, agama, bahasa, dan budaya, Indonesia hanya bisa berdiri kokoh bila pluralisme dirawat, bukan dipecah-pecah. Sayangnya, realitas politik kita sering justru sebaliknya: identitas agama, suku, atau kelompok kerap dijadikan alat politik untuk meraih kekuasaan. Akibatnya, rakyat terbelah, solidaritas rapuh, dan konflik sosial mudah tersulut.

Meneladani Nabi berarti merawat keberagaman sebagai kekuatan, bukan menganggapnya ancaman. Politik semestinya diarahkan pada kesejahteraan rakyat, bukan memperuncing identitas. 

Jika Nabi mampu merajut persaudaraan di Madinah yang jauh lebih kompleks, maka seharusnya kita pun bisa menjaga pluralisme sebagai warisan luhur yang memperkokoh persatuan.

Hari ini, Indonesia sedang menghadapi tantangan yang tidak ringan. Kita tahu ada krisis moral yang tak kunjung usai, korupsi masih saja menjadi cerita lama yang terus berulang.

Sumber: