Maulid Nabi: Dari Seremoni ke Gerakan Progresif Bangsa

Maulid Nabi: Dari Seremoni ke Gerakan Progresif Bangsa

Fajar Rahmawan SAg, Pegiat Literasi. FOTO: IST/ RAKYAT CIREBON--

Setiap tahun, umat Islam Indonesia berbondong-bondong merayakan Maulid Nabi Muhammad ﷺ. 

Masjid dipenuhi spanduk, shalawat menggema, pujian-pujian dilantunkan bahkan tak jarang acara diiringi karnaval. Semua meriah. 

Namun, di balik gegap gempita itu, kita patut bertanya: apa kontribusi peringatan ini bagi perubahan nyata diri dan bangsa kita?

Kalau Maulid hanya berhenti pada ritual seremonial, maka ia tak ubahnya pesta tahunan yang berulang tanpa arah. 

Padahal, kelahiran Nabi seharusnya dimaknai sebagai kelahiran gagasan progresif: membebaskan manusia dari penindasan, memperjuangkan keadilan, menguatkan solidaritas, dan menegakkan martabat kemanusiaan.

Kita yang mengku meneladani Nabi seyogyanya mampu merubah romantisme ini ke Aksi Nyata. Bangsa ini sering terjebak pada romantisme agama. 

Kita hafal kisah perjuangan Nabi, kita ulang-ulang akhlak beliau, tapi berhenti di lisan. Padahal, progresivitas Maulid justru terletak pada keberanian mengubah narasi menjadi aksi.

Pertama, Nabi Muhammad ﷺ dalam perjuangannya menghadapi kaum Quraisy bukan hanya menentang penyembahan berhala, tetapi juga melawan sistem sosial, politik, dan ekonomi yang timpang serta korup. 

Kaum Quraisy kala itu menjaga kekuasaan dengan menindas yang lemah, memperdagangkan kepentingan, dan memanipulasi kebenaran demi keuntungan segelintir elit. 

Nabi berdiri tegas melawan sistem bobrok itu meski dihadapkan pada tekanan, ancaman, dan isolasi.

Konteks ini sangat relevan dengan kondisi Indonesia hari ini. Budaya korupsi sudah begitu mengakar, bukan hanya di lingkaran elit politik, tetapi juga di level birokrasi dan kehidupan sehari-hari. 

Korupsi di negeri ini bukan sekadar tindakan menyalahgunakan uang negara, melainkan telah menjelma menjadi “sistem sosial” yang diwariskan dan dijalankan dengan dalih kebiasaan, kelaziman, bahkan dianggap kewajaran.

Maka, jika kita benar-benar ingin meneladani perjuangan Nabi, keberanian moral untuk melawan budaya korupsi harus diwujudkan secara nyata. 

Keberanian itu bukan hanya tugas aparat penegak hukum, tetapi juga tanggung jawab kolektif seluruh rakyat. Dimulai dari menolak praktik pungli kecil-kecilan, hingga mendesak transparansi dalam pemerintahan dan lembaga publik.

Sumber: