Pemkot Cirebon Bisa Ambil Alih Keraton Kasepuhan
--
RAKYATCIREBON.ID, CIREBON - Sepeninggal Sultan Sepuh XIV, PRA Arief Natadiningrat, perselisihan di Keraton Kasepuhan hingga kini belum menemukan titik terang. Apalagi, setelah penobatan Sultan Sepuh XV, PRA Luqman Zulkaedin, bermunculan tokoh-tokoh lainnya yang mengaku lebih berhak menyandang gelar sultan.
Perselisihan dua tokoh, yakni Sultan Sepuh XV, PRA Luqman Zulkaedin dan Raden Rahardjo Djali, keturunan Sultan Sepuh XI Tadjoel Arifin Djamaluddin Aluda Mohammad Samsudin Radjaningrat, terus berlanjut.
Terakhir, persoalan di internal keraton kembali memanas setelah pihak Rahardjo meminta agar loket masuk ke lingkungan Keraton Kasepuhan ditutup. Dan pengelolaan keraton dikembalikan kepada keluarga besar Kesultanan Cirebon.
Bahkan, pekan lalu Pemkot Cirebon sudah berusaha menengahi kedua belah pihak. Mereka diundang untuk dimediasi di Balaikota Cirebon. Namun masih belum menemui titik terang. Karena salah satu pihak, yakni PRA Luqman Zulkaedin tak hadir, sehingga kembali deadlock.
Sejarawan yang juga Wargi Keraton Cirebon, Drs R Subagdja memiliki pandangan, konflik di Keraton Kasepuhan Cirebon yang terjadi, sesungguhnya bukan lagi hanya antara dua pihak, PRA Luqman Zulkaedin dan Raden Rahardjo Djali.
Melainkan juga ada wargi Keraton Cirebon lainnya yang merasa punya hak atas tahta di Keraton Kasepuhan Cirebon. Mereka mulai geram dengan konflik yang tak berujung.
Dikatakan Subagdja, harus ada formula yang tepat sebagai solusi. Dan, masalah konflik di Keraton Kasepuhan Cirebon ini harus didekati dari dimensi sejarah, filosofi dan sosiologi.
"Kalau yang diungkap hanya sejarah tradisional, maka masing-masing pihak akan terus merasa paling benar. Jadi harus dilihat secara komprehensif," ungkapnya.
Sedikit menjelaskan perspektifnya mengenai sejarah Keraton Kasepuhan, Subagdja mengatakan, ditilik dari sejarahnya, Cirebon pertama kali muncul sebagai pusat kekuasaan dan penyebaran Islam di bawah Sunan Gunung Djati.
Sebagai pendiri kerajaan Islam, Sunan Gunung Djati menjalankan roda pemerintahan secara Islami, termasuk sistem pergantian tahta di dalamnya.
Pada masa tersebut, kata dia, pepakem atau adat didasarkan pada pandangan-pandangan Islam. Sebelum pada periode selanjutnya, masuk dalam masa kesultanan.
Pada masa Cirebon di bawah kekuasaan para sultan, campur tangan Belanda saat itu sudah mulai terasa dalam menjalankan pemerintahan. Termasuk pada sistem pergantian tahta.
"Terlebih pada masa Raffles. Sultan hanyalah sebagai pemangku adat. Pada masa ini, sistem pergantian tahta di Keraton Cirebon sudah mulai longgar. Hal itu disebabkan oleh masuknya kepentingan-kepentingan politik Belanda," jelas Subagdja.
Masih pada masa itu, campur tangan Belanda pada Kesultanan Cirebon ditanggapi beragam di lingkungan Kesultanan Cirebon. Ada sultan atau kerabat yang memilih sikap berdamai dengan Belanda, ada juga yang memilih sikap melawan.
Mereka yang melawan biasanya memilih keluar dari lingkungan keraton dan menyusun kekuatan untuk melawan. Dalam kondisi ini, sistem pergantian tahta menjadi sangat longgar. Pepakem adat bisa kalah oleh kepentingan-kepentingan politik Belanda.
"Melihat sejarahnya yang seperti itu, maka untuk saat ini penyelesaian konflik di Keraton Kasepuhan Cirebon haruslah dicari solusi yang dapat mengakomodir seluruh kepentingan wargi. Dengan sebuah prinsip keraton bukanlah milik perorangan atau wargi tertentu. Melainkan milik seluruh wargi. Jadi dalam hal ini harus ada kedewasaan dari dua pihak yang berselisih," ujarnya.
Menyoroti pemkot yang mencoba menengahi, menurut Subagdja, itu tidak akan menghasilkan kesimpulan dan kesepakatan antara kedua pihak. Tanpa ada kedewasaan dari keduanya untuk bersama-sama mengakomodir kepentingan seluruh wargi keraton.
Pemerintah Kota Cirebon, kata dia, tidak mungkin akan berpendapat dalam pertemuan itu, karena dikhawatirkan akan berpihak. Namun sebagai jalan terakhir, jika masih tetap keduanya tak dewasa bertemu dan berniat menyelesaikan pertikaian di internal keraton, masih menurut Subagdja, pemkot bisa mengambil sikap tegas dengan mengambil alih keraton secara permanen. Karena hal itu bisa dilakukan berdasarkan undang-undang yang ada.
"Menurut saya harus ada pihak ketiga yang dinilai netral oleh kedua belah pihak yang bertikai. Pihak ketiga itu berasal dari wargi Keraton Cirebon sendiri. Kalau mau, sebagai jalan terakhir, pemkot ambil alih saja keraton secara permanen. Itu bisa, dan ada aturannya dalam undang-undang," imbuh dia.
Seperti diketahui, Keraton Kasepuhan sudah memiliki empat orang sultan. Yakni, Pangeran Raja Adipati (PRA) Luqman Zulkaedin, dengan gelar Sultan Sepuh XV, yang melakukan jumenengan pada 30 Agustus 2020. PRA Luqman merupakan putra dari almarhum Sultan Sepuh XIV, PRA Arief Natadiningrat.
Selain PRA Luqman, Keraton Kasepuhan kembali memiliki sultan setelah Raden Rahardjo Djali melakukan jumenengan pada 18 Agustus 2021, dengan gelar Sultan Aloeda II.
Selanjutnya, ada Pangeran Wisnu Lesmana, yang melakukan jumenengan sebagai Sultan Jayawikarta III Keraton Kasepuhan Cirebon pada 20 Oktober 2021.
Kemudian, pada Senin 27 Desember 2021, Pangeran Heru Arianatareja atau yang dikenal sebagai Pangeran Kuda Putih, dikukuhkan sebagai Sultan Kasepuhan dengan gelar Sultan Sepuh Jaenudin II Arianatareja.
Prosesi pengukuhan Pangeran Kuda Putih dilakukan di Masjid At Tin, Komplek Objek Wisata Sidomba, Desa Peusing, Kecamatan Jalaksana, Kabupaten Kuningan.
“Pengukuhan dilakukan wargi keturunan Sunan Gunung Jati yang terhimpun dalam Santana Kesultanan Cirebon,’’ ujar Sekretaris Buhun Pemangku Adat Tertinggi Santana Kesultanan Cirebon, Raden Hamzaiya waktu itu. (sep)
Sumber: