Ada Rabithah Alawiyah, Kenapa Jejak Keturunan Nabi Muhammad Dipersoalkan?
Kongres Rabithah Alawiyah pada masa kolonial Belanda. RA merupakan salah satu wujud pergerakan keislaman dan kebangsaan yang dimotori kaum keturunan Rasul SAW di Indonesia. | DOK Rabithah Alawiyah--
RAKYATCIREBON.ID-Pada bulan maulid saat ini banyak penceramah dan pembaca doa yang mengenakan gelar habib. Mereka pun kerap diundang dalam membaca maulid dan shalawat.
Panggilan habib kerap digunakan untuk menghormati keturunan Rasulullah SAW yang dikenal sebagai sayid.
Rabithah Al-Alawiyah (RA) sebagai organisasi masyarakat yang menghimpun warga negara Indonesia (WNI) keturunan Arab juga mencatat mereka yang mempu nyai garis keturunan langsung dengan Nabi Muhammad SAW.
Pencatatan nama-nama keturunan Nabi Muhammad SAW menjadi hal penting untuk diketahui oleh umat Islam.
Dikutip dari website resmi Rabithah Alawiyah nama awal dari organisasi Islam ini adalah “Perkoempoelan Arrabitatoel-Alawijah”.
Pada tanggal 8 Maret 1928 ,perkumpulan ini mengirimkan surat permintaan pengesahan yang ditanda tangani oleh Sayid Muhamad bin Abdulrahman bin Syahab yang menjabat sebagai ketua pertama Rabithah Alawiyah dan Sayid Achmad bin Abdullah Assagaf yang menjabat sebagai sekretaris pertama Rabithah Alawiyah.
Surat ini dikirimkan kepada Tuan Besar Hindia Nederland, G.R. Endbrink. Kemudian pada tanggal 27 Desember 1928 di Bogor, Tuan Besar Hindia Nederland, G.R. Endbrink mengakui bahwa “Perkoempoelan Arrabitatoel-Alawijah” sebagai perkumpulan legal (rechtspersoon).
Pada zaman itu Perkoempoelan Arrabitatoel-Alawijah bermarkas di Tanah Abang Jakarta Pusat dan memiliki beberapa cabang yang tersebar di beberapa daerah di Indonesia seperti Surabaya, Bondowoso, Gresik, Pekalongan, Solo, dan Semarang.
Sementara itu organisasi ini juga memiliki beberapa perwakilan di beberapa daerah seperti di Probolinggo, Cianjur, Sukaraja, Tulung Agung, Bangil, Ende, Tegal, Jombang, Jember, Makassar, Mojosari, Lumajang, Malang, Sumenep dan Banyuwangi.
Mayoritas marga yang hidup di Indonesia, di antaranya Assegaf, Al-Habsyi, dan yang paling banyak Alatas. Semua itu tercatat dalam sebuah buku besar di mana berasal dari Hadramut.
Awalnya berasal dari tiga buku besar lalu berkembang menjadi tujuh buku besar dan kemudian saat ini sebanyak 15 buku besar.
Diaspora para habib ke Indonesia terjadi pada dua gelombang, yaitu pada masa Wali Songo dan tahun 1800-an.
Beberapa tujuan awal didirikannya perkumpulan ini seperti tertera di Stauen, yaitu untuk memajukan bangsa Arab Hadrami baik secara jasmani maupun rohani, kemudian untuk menguatkan tali persaudaraan antara golongan sayyid dan orang Arab Hadrami lainnya, mendidik para anak piatu, menolong janda dan orang yang tidak mampu bekerja dan juga fakir miskin.
Perkumpulan ini juga bertujuan untuk memelihara keturunan Sayyid dan menyebarkan penyebaran agama Islam, bahasa Arab serta ilmu lainnya.
Sumber: