Sudah Lama Kerajaan Belanda Ingin Pulangkan Artefak asal Cirebon
KUNJUNGAN. Pertemuan antara Duta Besar Belanda untuk Indonesia, Lambertus Christiaan Grijns bersama istri dengan Sultan Aloeda II, Raden H Rahardjo Djali Ak MSc CMA CFA dan permaisuri berlangsung ke Keraton Kilen, Jumat (26/4/2024) FOTO : SUWANDI/RAKYAT C--
CIREBON - Artefak asal Cirebon yang kini berada di Museum dan Perpustakaan Leiden, Belanda, sudah lama ingin dipulangkan oleh Kerajaan Belanda ke tempat asalnya.
Sayangnya, proses yang cukup rumit dan kebuntuan komunikasi antara Kerajaan Belanda dan Kasultanan Cirebon bikin hal itu belum terjadi.
Kini, pengembalian artefak asal Cirebon ke Kasultanan Cirebon mulai menemui titik terang. Pasalnya, Kerajaan Belanda melalui kedutaannya di Indonesia membuka pintu komunikasi untuk segala kemungkinan.
Kebuntuan komunikasi telah pecah lantaran terjadinya pertemuan antara Duta Besar Belanda untuk Indonesia, Lambertus Christiaan Grijns bersama istri dengan Sultan Aloeda II, Raden H Rahardjo Djali Ak MSc CMA CFA dan permaisuri.
Pertemuan kedua pihak ini terjadi di Keraton Kilen komplek Keraton Kasepuhan, Jumat (26/4/2024). Turut hadir pula Pangeran Cevy Al Banjari beserta permaisuri dari Kerajaan Banjar Kalimantan Selatan dan Ir Nedy Achmad SE MSc dari Kasultanan Sambas.
Pertemuan itu merupakan sejarah bagi Kasultanan Cirebon. Pasalnya, setelah lebih dari satu abad, perwakilan dua kerjaan, Kerajaan Cirebon dan Kerajaan Belanda kembali dipertemukan.
Duta Besar Belanda, Lambertus Christiaan Grijns menjelaskan, ada banyak artefak asal Cirebon yang kini berada di Belanda. Artefak itu dipindahkan dari Cirebon ke Belanda pada masa kolonial.
Sebagian besar diperoleh dari hasil pemberian atau cindera mata yang diberikan oleh Kasultanan Cirebon kepada tamu-tamu kehormatan dari Belanda.
Sebagian lainnya merupakan kitab-kitab atau manuskrip yang berisi catatan tentang Kasultanan Cirebon. Manuskrip itu sangat penting untuk menggali informasi sejarah Cirebon.
"Betul ada banyak informasi di arsip di Universitas di Leiden dan Bapak Sultan minta tolong untuk mencari jalan ke arsip itu dan mungkin kami bisa membantu," kata Grinjs yang sudah faseh Bahasa Indonesia ini.
Menurut Grinjs, Kedutaan Belanda siap membuka akses komunikasi bagi Kasultanan Cirebon untuk mengakses artefak itu. Salah satu yang paling mungkin ialah menghubungkannya ke lembaga Koninklijk Instituut voor Taal –, Land – en Volkenkunde (KITLV).
Sejak tahun 1851, KITLV fokus pada pengumpulan informasi dan memajukan penelitian mengenai keadaan masa kini dan lampau daerah-daerah bekas koloni Belanda dan wilayah sekitarnya.
KITLV yang berpusat di Leiden, membuka perwakilannya di Jakarta pada tahun 1969. KITLV-Jakarta bekerja sama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan ilmiah dan menerbitkan karya-karya ilmiah tentang Indonesia dan Asia Tenggara pada umumnya.
Sejak 1 Juli 2014 Perpustakaan KITLV di Leiden bergabung dengan Perpustakaan Universitas Leiden dan kantor KITLV-Jakarta dialihkan di bawah naungan Perpustakaan Universitas Leiden dan berbadan hukum Yayasan.
Sumber: