Sering Hujan, Kerupuk Mlarat Seret Order
RAKYATCIREBON.ID – Musim hujan kali ini, mulai dirasakan dampaknya. Terutama bagi pelaku Industri Kerupuk Pasir atau Kerupuk Mlarat. Pasalnya, masih ketergantungan dengan panas alami. Yakni sorotan sinar matahari.
Otomatis, ketika hujan turun terus menerus, produksi terhambat. Proses pengeringan membutuhkan waktu lebih lama. Dibandingkan ketika di musim kemarau.
\"Musim hujan kali ini, jelas berimbas. Kalau kemarau panas kemarin, sehari pasti kering. Kalau musim hujan, 3 hari baru kering,\" kata Pengusaha Kerupuk Mlarat, Maksum Sumantri, Jumat (26/11).
Belum lagi, jika kerupuk tak sempat terangkat ketika hujan tiba-tiba turun. Kerupuk akan mengembang akibat air. Butuh tambahan waktu untuk mengeringkan. Bisa sampai 3 harian lebih.
\"Iya, kalau kelihatan mendung langsung angkat, karena kalau ga keburu hujan, ya megar (mengembang) dan perlu dijemur lagi kurang lebih 3 hari lagi,\" ucapnya.
Sementara berpindah ke teknologi, belum mampu. Butuh biaya yang tak sedikit. Hasilnya, belum tentu sebanding dengan perolehan keuntungan yang didapatkan.
Selain karena faktor alami, harga bahan bakunya-- yakni tapioka, terus melambung. Menghantam biaya produksi kerupuk khas Cirebon. Saat ini harga tapioka, perkwintalnya naik Rp30 ribu.
\"Minyak naik dari biasanya Rp12.500 sampai Rp13.000, sekarang jadi Rp18ribu sampai Rp19 ribu perkilo. Kita sehari goreng butuh 15 kilo. Tapiokanya juga naik. Per kwintalnya naik sampe Rp30 ribuan,\" ungkapnya.
Tak hanya itu, proses penjualan pun mengalami kelesuan. Menurun. Padahal, biasanya bahan baku satu kwintal bisa langsung ludes terjual. Tapi kini, harus ngantre. Sampai adanya permintaan. Disamping itu, harga jualnya pun, sulit dinaikan. Padahal, bahan bakunya, semua mengalami kenaikan.
\"Penjualan kadang ada kadang enggak. Biasanya ada yang ngambil. Kalau dianterin itu ke Celancang sama Patrol. Ada yang ngedrop. Tapi sekarang jarang. Sulit terjual. Harganya masih tetap sama. Dipatok Rp13 ribu per kilogramnya. Padahal semua bahan baku, harganya naik. Kita susah mau menaikan. Harga pabrik besarnya segitu. Ya mau naikin nanti tambah susah jualnya,\" terangnya.
Saat memproduksi, Maksum tidak sendiri. Dibantu warga sekitar dan istrinya. Meski persoalan melilitnya, ia masih tetap bertahan. Melanjutkan tradisi keluarga. Memproduksi kerupuk mlarat.
\"Bertahan jadi pilihan. Demi keluarga. Agar bisa tetap makan dan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Apalagi kami tidak sendiri. Ada orang lain yang bantu juga,\" pungkasnya. (zen)
Sumber: