Relasi Keadilan Gender dalam Keseharian Dayak Losarang
Tak ada yang lebih dominan. Nyi sering menyuruh Takudin bebersih rumah. Begitu juga Nyi tak merasa keberatan jika diminta bantuan menyiapkan makanan untuk Takudin.
Juru Bicara Dayak Losarang, Wardi menjelaskan, konsep ngaula yang dianut anggota Dayak Losarang merupakan wujud filosofi gotong royong. Wanita dan pria bahu membahu menciptakan harmonisme melalui keadilan peran. Terutama dalam kehidupan keseharian.
Pun dalam ranah ritual. Wardi menegaskan, tidak ada larangan atau paksaan keterlibatan wanita dalam tiap ritual Dayak Losarang. Hanya saja, pada ritual-ritual tertentu secara teknis memang berat dikakukan wanita. Apalagi yang sudah berkeluarga dan harus urus anak.
Setidaknya ada 3 macam ritual. Pertama, pembacaan pujian alam, kidung alas turi dan pembacaan sejarah pewayangan pandawa lima tiap malam Jumat Kliwon. Kemudian kedua, ritual rendem (berendam) dan ketiga, ritual mepe (berjemur).
Rendem dan mepe sejatinya satu rangkaian ritual. Pria Dayak Losarang melakukan ritual itu selama 4 bulan dalam setahun. Malam hari mereka rendem di sungai dekat pendopo mulai pukul 00.00 sampai 06.00 WIB. Dilanjut mepe juga di sekitar sungai itu sampai pukul 11.00.
“Orang-orang hanya tahu ritual-ritual itu dilakukan sama pria dayak saja. Padahal tidak. Wanita juga boleh ikut. Tidak ada larangan. Tidak ada paksaan. Silakan saja,” kata Wardi.
Biasanya, wanita dayak hanya ikut ritual pujian dan kidung malam Jumat Kliwon. Sedangkan rendem dan mepe jarang ikut. Selain teknis juga persoalan etis.
Nur, istri Amir, lebih memilih menjaga anaknya di rumah ketimbang ikut rendem dan mepe. “Karena saya punya kesibukan. Sebetulnya boleh. Tapi kami dayak mempertimbangkan faktor etis, ya,” kata Nur. (wan)***
***Tulisan ini bagian dari program Story Grant Pers Mainstream Jawa Barat yang digelar oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) kerja sama dengan Friedrich-Naumann-Stiftung fur die Freiheit (FNF) dan Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Sumber: