Guru Besar Fakultas Kedokteran UNDIP Kirim Surat Terbuka ke Menteri Kesehatan, Begini Isi Suratnya
Kita baru bisa mencapai 70% dari standar WHO (@pandemictalks, 27 September 2020), tapi persoalannya adalah ketimpangan kapasitas test antar provinsi.
Hanya DKI yang kapasitas test nya melebihi standar WHO, sedangkan beberapa provinsi (Lampung, Sulawesi Tengah, dan Nusa Tenggara Timur) bahkan memiliki kapasitas test kurang dari 100 per 1 juta penduduk.
Penjajakan/ Pelacakan Kontak atau Tracing juga masih lemah. Menurut perhitungan Kawalcovid19.id , kemampuan tracing (Rasio Lacak Isolasi - RLI) Indonesia sangat kurang yaitu 3,3 padahal standar WHO harus lebih dari 30. Artinya dari setiap kasus positif, harus dilacak-isolasi sampai minimal 30 orang, bukan cuma 3 orang (di Singapore bahkan RLI nya sampai 70 orang).
Dalam situasi peperangan yang penuh dengan kegagapan dan ketidaksiapan pasukan di lapangan, dengan amunisi yang serba kekurangan, Tenaga Medis merupakan Pasukan Khusus yang dipersiapkan untuk menghadapi musuh di medan tempur yang paling sulit, yaitu 20 persen kasus yang membutuhkan perawatan di ruang isolasi dan ruang ICU Rumah Sakit.
Pasukan Khusus ini terutama terdiri atas para dokter yang jumlahnya terbatas dan memerlukan pendidikan dan pelatihan yang lamanya 6-10 tahun sebelum dinyatakan lulus dengan kompetensi tempur di medan yang paling sulit dan risiko kematian yang paling tinggi.
Alih-alih memberikan dukungan kepada para anggota ‘pasukan khusus’ dalam menghadapi ‘perang yang berkepanjangan’ melawan pandemi COVID-19 yang seolah tanpa akhir ini, sang komandan Terawan malah dengan tega dan terang-terangan mengobok-obok dan membuat kekacauan di institusi dan wahana pendidikan yang menjadi markas pelatihan kompetensi tempur para nakes, khususnya para dokter spesialis.
Awal Agustus lalu, di saat penambahan kasus positif harian mencapai lebih dari 3000 orang, dan angka kematian nakes (menurut IDI) mencapai 6,5% (20 kali angka kematian nakes dunia yang 0,37%), atas usulan Menteri Terawan, tiba-tiba Presiden melantik para anggota Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) yang ditolak oleh IDI, PDGI dan seluruh Perhimpunan Dokter Spesialis.
Penolakan ini karena penunjukannya oleh sang komandan tidak mewakili dan tidak pernah di komunikasikan dengan organisasi yang mewakili para anggota pasukan khusus yang sedang sibuk bertempur di medan perang.
Alhasil, satu kekacauan dan kekisruhan telah diciptakan oleh Terawan, sang komandan lapangan yang tidak pernah hadir di medan tempur, bahkan tidak jelas keberadaannya.
September 2020, belum lagi jelas kapan peperangan ini akan berakhir, disaat lebih dari 130 dokter menjadi korban meninggal bersama dengan ratusan nakes lain, dengan enteng dan tanpa perasaan sang komandan masih bisa berteriak siap untuk memasok sebanyak 3500 tentara cadangan.
Para dokter yang pendidikannya memerlukan waktu 6-11 tahun (6 tahun untuk dokter umum termasuk masa internship, dan tambahan 4-5 tahun untuk dokter spesialis) bukanlah ‘barang disposable’ yang gampang diproduksi dengan instan.
Para dokter adalah SDM langka yang menjadi pilar utama untuk bisa terlaksananya sila kelima dari Pancasila khususnya pemenuhan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945.
Belum puas rasanya sang komandan Terawan dalam mengganggu konsentrasi tempur pasukan khusus para dokter spesialis ini. Tiba-tiba sang komandan Terawan (yang tidak pernah diketahui keberadaannya) di luar kewenangannya sebagai Menkes, mengeluarkan surat perintah berupa PMK 24 tahun 2020 pada 21 September kemarin (data mengenai hal ini bisa di unduh di aplikasi sehatpedia, sebuah aplikasi resmi milik Kemenkes.
Sampai artikel ini ditulis, data ini belum di tayangkan di website resmi Kemenkes yang isinya menyebabkan kekisruhan dan mengacaukan TuPokSi berbagai satuan tempur dari pasukan khusus yang sedang sibuk bertugas di medan tempur. Para dokter spesialis ini masing-masing memiliki kompetensi khusus yang sebagian memang ada ‘overlap’ atau tumpang tindih antar bidang spesialis.
Tetapi semua persoalan terkait kesamaan kompetensi tempur dan penguasaan persenjataan di antara bidang spesialis ini sudah diatur dan disepakati antar korlap (koordinator lapangan) yaitu Kolegium bidang Ilmu yang tergabung dalam Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia (MKKI).
Sumber: