Pangeran Basmudin Adji Arka Ningrat: Pangeran Arya Panengah Surya Kusuma Abu Kayat Paling Berhak

Pangeran Basmudin Adji Arka Ningrat: Pangeran Arya Panengah Surya Kusuma Abu Kayat Paling Berhak

RAKYATCIREBON.ID- Wahai, para leluhur Nusantara! O, Sanjaya! Leluhur dari kebudayaan tanah! O, Purnawarman! Leluhur dari kebudayaan air! Kedua wangsamu telah mampu mempersekutukan budaya tanah dan air! Demikian puisi karya WS Rendra.

Gambaran fakta yang dipotret dalam puisi Kesaksian Abad-21 (Salamah, 2017) tersebut menunjukkan bahwa peradaban tata politik di masa lalu lebih beretika daripada saat ini. Tata pemerintahan sudah tertulis sejak dinasti Sanjaya dan Purnawarman Abad ke-5. Tradisi “Blusukan”, penegakkan hukum, tata kelautan, tata pertanahan, dan pemisahan kekuasaan sebagai mesin budaya sudah dilakukan oleh para raja Nusantara (leluhur bangsa Indnesia) untuk mewujudkan negara yang adil, makmur, dan berdaulat rakyat.

Tradisi tersebut antara lain dikisahkan dalam Kitab Desawarnana karya Empu Prapanca tentang “Blusukan” Raja Erlangga dan Hayam Wuruk. Dalam kitab tersebut, kehadiran raja di daerah-daerah dan desa-desa tidak sekedar “Pencitraan” tetapi benar-benar melihat, memahami, menghayati, mengakomodasi, lalu membuatkan tata perundangan dan peraturan untuk kemakmuran dan kedaulatan rakyat.

Puisi W.S. Rendra di atas, memberikan pencerahan untuk membangkitkan kesadaran kolektif bangsa Indonesia bahwa leluhur Nusantara di masa lalu sudah memiliki tata berpolitik yang beretika dan peradaban yang lebih maju dari bangsa Eropa. Mesin budaya peradaban yang sudah maju pernah dimiliki oleh bangsa Nusantara yang terekam dalam berbagai prasasti, situs, artefak, dan kitab-kitab kuno, ratusan tahun sebelum ditulis oleh bangsa Barat.

Diantaranya, masa kejayaan peradaban Islam di Cirebon pada era Syarif Hidayatullah tahun 1479-1568, menunjukkan bukti-bukti sejarah peradaban tersebut sebagai bukti kejayaan peradaban Islam di Cirebon, serta mengungkapkan pengaruh Syarif Hidayatullah terhadap perkembangan dakwah Islam di Jawa. Syarif Hidayatullah yang lebih populer dengan nama Sunan Gunung Jati itu bukan sekedar tokoh legenda, mitos, atau semacamnya, tetapi bagian dari tokoh historis dan fakta sosial. Salah satu bentuk aspirasi lokal yang mewakili sejarah pemikiran, identitas budaya, sekaligus harapan sang penutur, Sunan dari Cirebon. Adalah Pangkur naskah Cirebon yang berjudul Sejarah Peteng Sejarah Rante Martabat Tembung Wali Tembung Carang Satus-Sejarah Ampel Rembesing Madu Pastika Padane, “Parang Sunan Jati parapta, alinggi ana ing puncak Gunungjati, Makhdum Bonang Giri emut, ing wewekas maulana, Sharafuddin nyata prasami arawuh, ming Jati sarta kalawan wargiwargi para wali. Makhdum Kali Makhdum Darajat, Pangeran Makhdum muwah Maulana Maghrib, Sultan Demak mapan rawuh, maksud maring susunan, agung angruru awarni duhung, pun kebo tuwek kalayan, duhung namanepun kunci. Ing waktune makumpulan, Pangeran Panjunan mapan sumanding, muwah ingkang anak putu, Sunan Jati sadaya, adan Sunan Jati wewekas kang tangtu, maring ingkang putra wayah, lan ipat-ipat kang jati.”

Namun, kekuasaan Cirebon makin lama makin dipersempit. Pada tahun 1700 Belanda mengangkat Jacob Palm menjadi Residen pertama. Tak ayal lagi, pemberontakan pun timbul sebagai salah satu cara untuk menolaknya. Pemberontakan Cirebon telah dimulai sejak tahun 1788 dan terbesar tahun 1802, tetapi semua dapat dipadamkan Belanda. Bahkan kemudian, gelar Sultan di lingkungan kraton sudah tidak diperbolehkan dipakai lagi. Kenyataan itu sejalan dengan pendapat Kern bahwa Cirebon berakhir kejayaannya pada abad ke-17, ketika suasana damai di Cirebon terganggu oleh kolonial.

Penegasan serupa ditulis H.J. De Graaf dan Th. Pigeaud dalam De Eerste Moslimse Vorstendommen op Java, Studen Over de Staatkundige Geschiendenis van de 15 de en 16 de Eeuw; “Kedaulatan atas daerah Cirebon termasuk daerah-daerah Sunda pada 1705 diserahkan oleh susuhunan di Kartasura kepada kompeni (VOC) di Batavia. Keraton-keraton para keturunan Sunan Gunung Jati di kota Cirebon masing-masing tetap dipertahankan di bawah kekuasaan dan dengan tunjangan uang dari pemerintah Hindia Belanda hingga abad XX ini.”

Dengan demikian, pemerintah Kolonial Belanda telah semakin dalam ikut campur mengatur Cirebon, sehingga semakin surutlah peranan kraton-kraton Kesultanan Cirebon di wilayah-wilayah kekuasaannya. Pada tahun 1906 dan 1926, kekuasaan Kesultanan Cirebon secara resmi dihapuskan dengan pengesahan berdirinya Kota Cirebon (Gemeente Cheirebon).

Bersama Harian Rakyat Cirebon, perwakilan Wargi Besar Mertasinga, Pangeran Basmudin Adji Arka Ningrat mengungkapkan akan membentuk Dewan Famili Kasultanan Cirebon, yang bertujuan menyatukan kerabat famili putra wayah Syaikh Syarif Hidayatullah atau dikenal Sunan Gunung Jati, baik trah laki laki maupun trah perempuan.

“Juga membenahi hal-hal yang dianggap menyimpang, yang kurang baik yang dilakukan oleh pihak pihak keraton maupun oleh famili itu sendiri,” ungkapnya, Senin (10/8).

Menyinggung soal polemik takhta pasca mangkatnya PRA Arief Natadingrat beberapa waktu. Pangeran Basmudin Adji Arka Ningrat mengungkapkan kerabat Mertasinga menyatakan dengan tegas tidak mendukung atau tidak berpihak kepada pihak manapun.

Berikut petikan wawancaranya.

Wargi Besar Mertasinga melalui Dewan Famili Mertasinga akan berupaya melakukan pelurusan sejarah. Bisa Anda jelaskan?

Iya jika ada ridho Alloh, ingin ada pelurusan sejarah. Artinya biar terbuka sejarah yang sebenarnya.

Sumber: