Dakwah ‘Wayang Kulit’ Kalijaga Gunakan Nama Ki Dalang Sunan Panggung

WAYANG kulit Cirebon merupakan sebuah ragam wayang kulit yang ada di nusantara. Berbagai jenis gaya wayang kulit begitu bhinneka ditemui, misalnya wayang kulit Jawa, wayang kulit Narta Bali, dan wayang kulit Sasak Lombok.
Pengaruh agama Hindu dan Budha dari India sangat kuat di kawasan nusantara, beragam kisah yang berasal dari Hindu dan Budha pun lazim di pertunjukan sebagai bagian dari cerita pagelaran wayang kulit, contohnya seperti epik Ramayana dan Maha Bharata.
Perkembangan wayang dari masa Hindu Budha ke masa Islam di nusantara terutama di wilayah pulau Jawa termasuk wilayah Kesultanan Cirebon, sebuah bentuk dari diplomasi dakwah yang dilakukan oleh para ulama dan penguasa lokal yang telah memeluk ajaran Islam.
\"Wayang Cirebon cukup berbeda dengan Wayang Solo, dari struktur cerita, dialog, gamelannya dan juga hubungan dengan penonton. Di sini penontonnya bisa dekat dengan dalang, sering interupsi dan mereka bisa meminta lagu yang mereka sukai,\" kata Matthew Cohen dikutip dari Antara, Rabu (10/6).
Para budayawan Cirebon umumnya sepakat bahwa wayang gaya Cirebon bermula dengan kedatangan Sunan Kalijaga yang membawa kesenian Wayang sebagai alat dakwahnya. Kebanyakan orang Cirebon percaya, sebagai dalang waktu itu, Sunan Kalijaga menggunakan nama Ki Dalang Sunan Panggung. Wali ini pula yang memperkenalkan Suluk Malangsumirang, yang merupakan suluk khas Cirebon.
Sunan Kalijaga mengawali dakwahnya di Desa Kalijaga, Cirebon. Ia mengislamkan penduduk sekitar termasuk Indramayu dan Pamanukan.
Dalam bahasa Cirebon, kata “wayang” memiliki arti bayangan. Kata lain wayang adalah “ringgit” artinya Sunan Giri yang “nganggit”. Maksudnya Sunan Giri yang memikirkan atau mengarang kecuali wayang Gunungan dibuat oleh Sunan Gunungjati. Tokoh wayang dewa yang mempunyai kedudukan tertinggi disebut “Girinata” mempunyai makna Sunan Giri yang menata atau mengatur.
Sumber: