Ini Polling Kemendes PDTT, 89,75 Persen Kades Tak Setuju Mudik

Ini Polling Kemendes PDTT,  89,75 Persen Kades Tak Setuju Mudik

RAKYATCIREBON.ID-Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) melalukan polling ke sejumlah Kepala Desa (Kades) untuk mengetahui opini soal setuju atau tidak dilaksanakan mudik 2020. Hasilnya, hampir seluruh Kades tidak setuju ada mudik tahun ini. Namun, mereka masih ragu antara kebijakan melarang atau mengimbau warganya di kota untuk mengurungkan niat mudik. 

“Namun jelas, opini kepala desa saat ini lebih bersifat rasional daripada terbebani muatan adat, sosial, atau ekonomi jangka pendek,” kata Kepala Pusat Data dan Informasi, Kemendes PDTT, Ivanovich Agusta, Selasa (14/4).

Ivan merujuk kebiasaan dari tahun ke tahun, mudik sebagai salah satu migrasi terbesar sekaligus singkat ini mendapat dorongan yang kuat dalam aspek budaya dan sosial. Ada ketenangan tak tergantikan saat berkumpul dengan keluarga besar, sanak saudara, dan teman-teman sekampung halaman, meski cuma beberapa hari hingga beberapa minggu dalam setahun.

Potensi ekonomi mudik yang masuk ke desa juga terlalu tinggi untuk dikesampingkan. Merujuk publikasi Kementerian Perhubungan, setidaknya 23 juta warga desa di kota mudik tahun lalu. Jika THR senilai satu kali gaji digunakan untuk mudik, dapat diperkirakan sepanjang lebaran 2020 seharusnya minimal Rp 3,4 triliun masuk desa.

Namun, kini ada pandemi Covid-19. Ini bisa membuyarkan berbagai aspek positif mudik beralih menjadi bencana pandemik masuk desa, dalam waktu yang singkat pula. Olehnya, Kemendes PDTT memandang perlu menggali sudut pandang kepala desa sebagai opinion leader yang sangat penting di desa terhadap mudik tahun 2020. Maka, pada 10-12 April 2020, diselenggarakan polling kepada kepala desa ini. 

Data sampel yang diambil dari lapangan sebanyak 3.931 kepala desa pada di 31 provinsi. \"Polling menunjukkan nilai hampir mutlak, yaitu 89,75 persen di antara kepala desa yang tidak setuju warganya mudik pada saat ini. Opini ini mengalahkan 10,25 persen kepala desa lain yang masih setuju warganya mudik. Jika merujuk pada fakta ini, aspirasi kepala desa perlu didengar warga yang sedang berada di kota, yaitu agar tidak mudik ke desa pada lebaran 2020,\" kata Ivan.

Kesehatan adalah alasan utama penunjang opini kepala desa, baik untuk mudik atau tidak mudik. Walaupun demikian, alasan kesehatan hampir mutlak pada kepala desa yang tidak setuju mudik (88,38 persen), dibandingkan yang setuju mudik (70,72 persen). Dasar alasan kesehatan menunjukkan kepala desa berperilaku rasional. Maka, penyajian informasi ilmiah atas aspek-aspek kesehatan dalam pandemik Covid-19 menjadi sangat penting.

Alasan sosial (45,51 persen) dan ekonomi (43,18 persen) menjadi prioritas kedua yang penting bagi kades yang setuju mudik. Dengan proporsi alasan kesehatan yang juga lebih rendah di atas, tampaknya kepala desa kategori ini masih terpaut kebiasaan mudik sebelumnya.

Bagi kedua kategori kepala desa, keamanan, apalagi politik, tidak dilirik untuk beropini mudik atau tidak mudik. \"Alasan-alasan kepala desa itu berkonsekuensi bagi kebijakan. Pertama, berbagai aspek kesehatan harus menjadi argumen utama, terutama merujuk opini tidak mudik sebagai opini mayoritas kepala desa,\" kata Ivan. 

Kedua, jika kebijakan tidak-mudik hendak dikuatkan, sekaligus diperlukan kontra argumen sosial (seperti adat mudik) dan kontra argumen ekonomi (seperti pendapatan menurun di kota). Contohnya, keluarga masih bertatap muka lewat telematika, dan berkirim surat, agar tetap bisa kopi darat seusai pandemi. Sekarang hidup prihatin, tapi dengan berjauhan akan memutus pandemi, sehingga kelak pendapatan normal kembali.

Polling dengan margin error 1,31 persen inii juga dalami opini kepala desa yang tidak setuju mudik. Ternyata muncul pendapat yang berimbang antara pilihan kebijakan berupa himbauan agar tidak mudik (49,86 persen) atau larangan mudik (50,14 persen). 

Opini fifty-fifty ini mencuatkan keraguan efektivitas dua jenis kebijakan itu bagi kepala desa yang tidak setuju mudik. Keraguan inilah yang harus segera diisi dengan keputusan lebih tegas dari pimpinan pada level lebih tinggi. Opini fifty-fifty itu jika hendak diterapkan apa adanya, akan menghasilkan alternatif format kebijakan yang mengandung sekaligus larangan dan himbauan untuk tidak mudik. 

Pertama, mudik dilarang, dan kehidupan migran di kota harus didukung pemerintah kota. Kedua, yang terpaksa mudik harus memiliki alasan kuat karena dari sisi kesehatan membahayakan desa, dan di desa harus melapor ke Relawan Desa Lawan Covid-19. Relawan ini dibentuk sebagai konsekuensi Surat Edaran Menteri Desa PDTT No 11/2020 yang terbit 24 Maret 2020. Pada saat ini ada lebih dari 550 ribu relawan di 4.500-an desa di seluruh Indonesia. Jumlahnya cenderung meningkat dari hari ke hari.

Di sini pun, kesehatan masih mencuat sebagai alasan hampir mutlak bagi seluruh kepala desa (88,92 persen pada pendukung larangan, dan 86,24 persen pada pendukung himbauan). Pendukung himbauan untuk mudik selanjutnya mengemukakan alasan ekonomi (33,54 persen), kemudian diikuti sosial (19.95 persen) dan keamanan (21.32 persen). Adapun pendukung larangan mudik selain didasarkan alasan kesehatan, juga alasan sosial (24,59 persen), lalu diikuti  ekonomi (16,28 persen) dan keamanan (16,79 persen).

Sumber: