Melacak Keberadaan Dwaja Lambang Kasultanan Cirebon
RAKYATCIREBON.ID- Tak ada satu negara pun di dunia ini yang tidak memiliki bendera. Bendera merupakan lambang suatu negara dan merupakan identitas dari negara itu sendiri. Sejak masa sebelum masehi bendera dan umbul-umbul selalu diikutsertakan dalam berbagai peperangan.
Sejarawan Universitas Negeri Malang, Dwi Cahyono menjelaskan, awalnya bendera dipakai dalam kemiliteran untuk membantu koordinasi di medan perang. Bendera kemudian berevolusi menjadi alat umum untuk sinyal dasar dan identifikasi, terutama di area di mana komunikasi menantang.
Penggunaan bendera dalam militer diketahui dari relief candi yang menggambarkan pergerakan pasukan dalam perang. Misalnya, pada relief cerita Kresnayana di candi induk Panataran, seorang prajurit membawa tongkat berbendera. Bendera itu berbentuk persegi memanjang ke bawah dengan hiasan rumbai-rumbai pada bagian bawahnya. Di tengahnya motif sulur membelah bidang kain menjadi dua.
Selain muncul dalam relief, naskah-naskah kuno juga menyebut soal pemakaian bendera. Dalam berbagai bahasa lokal ada beragam penyebutan untuk bendera. Dalam bahasa Jawa antara lain panji, pataka, dwaja, tunggul, umbul-umbul, sang saka.
Khusus tunggul digunakan untuk melukiskan sesuatu yang tinggi dan besar. Ini, kata Dwi, mengingatkan pada atunggul yang berkata dasar tunggul, artinya berdiri tegak, menjulang tinggi. “Julangan tinggi tunggul tergambar dalam perkataan tunggul kemelap asemu megha dalam Kakawin Hawiwangsa,” jelas Dwi.
Tunggul seringkali dibawa untuk mengiringi arak-arakan. Petugas yang membawanya disebut patunggul.
Lalu, bagaimana panji, pataka, dwaja, tunggul, umbul-umbul, sang saka Kasultanan Cirebon di masa lalu?
Dwaja kebesaran Kasultanan Cirebon sisa peninggalan Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah) sejak abad ke-16 belum diketahui keberadaannya. Bendera dengan corak penuh dengan kaligrafi Arab itu, belakangan menjadi pertanyaan sejumlah sejarawan.
Menurut Penata Kebudayaan Kasultanan Cirebon, Bambang Irianto, bendera itu kini berada di Rotterdam, Belanda. Keberadaan bendera itu di negeri kincir angin tersebut lantaran Belanda memang menginginkan bendera itu sejak lama.
Bendera Cirebon yang bernama “Macan Ali” itu tidak hanya berfungsi sebagai lambang atau simbol Kesultanan Cirebon, tetapi juga dipandang sebagai benda regalia. Bendera yang diberi nama Macan Ali itu dibuat oleh Syarif Hidayatullah sebagai lambang kerajaan dan semangat perjuangan Islam. Secara tidak langsung, katanya, merupakan motivator dan pembangkit semangat perjuangan Islam.
Ia pun tak menampik jika bendera itu memiliki kekuatan magis kuat yang dipercayai dapat menolak bala. Benda itu dipercaya dapat mendatangkan keselamatan atau kebaikan bagi seseorang atau masyarakatnya.
Menurutnya, bendera Macan Ali bahkan sempat dibawa Fatahillah (menantu Syarif Hidayatullah) dalam peperangan merebut Sunda Kelapa dari tangan Portugis (1527 M) di bawah pimpinan Fadillah Khan. Ketika dirawat Keraton Kanoman, oleh Sultan Anom dipinjamkan ke Sultan Mangkunegara Surakarta untuk menolak bala mengusir penyakit Sultan Mangkunegara.
\"Atas kondisi itulah Pemerintah Belanda menganggap bendera Cirebon memiliki potensi sangat membahayakan hingga akhirnya dirampas dan hingga kini tersimpan di Museum Rotterdam,\" bilangnya.
Bendera itupun kini ada pula di Cirebon, tepatnya di Museum Tekstil. Meskipun begitu, belum diketahui bendera yang mana yang asli, apakah yang berada di Rotterdam, ataukah di Museum Tekstil.
Sumber: