Mengenang Ratna Indraswari Ibrahim: Menulis Cerpen, Mengabarkan Kenyataan

Mengenang Ratna Indraswari Ibrahim: Menulis Cerpen, Mengabarkan Kenyataan

\"SAYA setuju dengan sebutan bahwa negeri kita ini adalah negeri yang maskulin. Saya dapat melihat dan merasakan maskulinitas itu dari ‘teks-teks’ sosial kita yang sarat dengan pelecehan seksual terhadap perempuan. Dan, saya kira semua itu akibat hegemoni patriarki yang telah tumbuh cukup lama dalam negeri ini. Untuk itu, saya sangat tertantang untuk menulis cerpen sebagai saksi atas ketidakadilan.” (Ratna Indraswari Ibrahim)1


Bila Ratna Indraswari Ibrahim tidak menulis, itu bisa berarti dua kemungkinan, yakni tidak ada lagi pelanggaran kemanusiaan atau kehidupan ini memang telah usai. Sejauh ini, memang tidak pernah terbayang oleh Ratna jika ia harus berhenti menulis. Baginya, menulis cerpen bisa mengungkapkan sekaligus menggambarkan suatu realitas sosial yang terjadi di masyarakat. “Cerpen adalah bagian dari sebuah karya sastra. Sebuah karya sastra merupakan refleksi kejujuran atas realitas sosial di mana karya sastra itu tumbuh,” kata Ratna. Alasan itulah yang menjadikan Ratna merasa dapat membantu dan berbagi kepada sesama manusia lewat cerpen-cerpennya. Kemanusiaanlah yang menjadikan Ratna tetap menulis.

Ratna adalah perempuan biasa yang luar biasa. Mengenal Ratna mengingatkan kita pada si Genius Stephen Hawking yang memberi pemahaman bahwa keterbatasan fisik bukanlah instrumen utama bagi berkurangnya kegeniusan seseorang. Ratna secara fisik tidak mungkin mengerjakan pekerjaannya seperti manusia normal. Ratna adalah orang cacat secara fisik, tetapi genius secara ide. Ratna adalah Stephen Hawking dalam dunia sastra dan perjuangan perempuan di komunitasnya.

Hampir sebagian besar anggota tubuhnya, terutama tangan dan kakinya, tidak bisa difungsikan, menyuap makanan pun tidak mungkin ia kerjakan sendiri. Di atas kursi rodanya, Ratna kerap kali kecewa kepada masyarakat yang memperlakukan orang cacat dan perempuan dalam posisi yang tidak penting, terbelakang, dan bodoh. Tekad untuk mengubah pandangan masyarakat yang keliru inilah yang menjadikan Ratna selalu hidup dalam kehidupan yang tidak berperilaku adil.

Ia sangat mengagumi ibu Nabi Musa A.S., karena kecerdasannya, perempuan itu menemukan jalan untuk menyelamatkan Musa kecil dari kekejaman Firaun yang siap membunuh setiap bayi laki-laki yang terlahir. Ratna bercita-cita agar perempuan di negerinya dapat berpikir seperti itu, berpikir alternatif, cerdas,  dan mandiri dari kekuatan laki-laki yang mendominasi dan memperlakukan perempuan secara tidak adil. Itulah Ratna, ia hidup dalam cerpen-cerpennya yang kelak akan dikenal sebagai sosok yang memberi pemahaman kepada dunia bahwa nilai dan kedudukan manusia bukan dilihat dari fisik, melainkan dari tindakan, pikiran, dan sumbangsih seseorang dalam kehidupan bersama.

Ratna dan Sisi Kehidupannya
Dalam dunia sastra, nama Ratna Indraswari Ibrahim cukup dikenal sebagai penulis cerpen. Cerpen-cerpennya kerap dimuat di sejumlah media cetak, baik lokal maupun nasional. Selain dikenal sebagai penulis cerpen, Ratna juga dikenal sebagai sosok yang memperjuangkan hak para difabel untuk memperoleh perlakuan yang sama sebagai warga negara. Kondisi fisiknya memang tidak normal karena sebagian besar anggota tubuhnya tidak berfungsi. Ia terserang penyakit polio pada usia 12 tahun dan sejak itu ia harus mengisi hari-harinya di atas kursi roda.

Meskipun harus menghabiskan kehidupannya di atas kursi roda, Ratna merasa tidak mempunyai persoalan menyangkut kondisinya yang difabel. Persoalan ini baginya sudah lewat. Ia juga tidak mengalami diskriminasi dalam keluarganya. Orang tua dan saudara-saudara tidak pernah memperlakukannya secara istimewa. Inilah yang menjadikan Ratna merasa selesai dengan kondisinya.

Di atas kursi roda, Ratna semakin menemukan dirinya. Kehidupannya telah memberikan pengalaman dan pelajaran yang cukup berharga bagi dirinya menyangkut keberadaan difabel lainnya. Di atas kursi roda, ia dapat merasakan bagaimana perlakuan masyarakat masih belum sepenuhnya menerima orang-orang difabel. Keinginan Ratna hanya satu, yaitu perlakuan yang sama dari masyarakat kepada mereka yang difabel. Dengan sepenuh hati, Ratna kerap memaksa masyarakat yang menganggap difabel sebagai objek yang perlu dikasihani untuk mengubah pandangan bahwa difabel adalah subjek yang juga mempunyai peran penting. Ratna telah menunjukkan perannya, yaitu menumbuhkan motivasi kepada rekan-rekannya sesama difabel dan masyarakat umum bahwa mereka ini adalah manusia biasa yang juga warga negara.

Kepedulian ini diwujudkan Ratna dengan mendirikan organisasi penyandang cacat di Kota Malang, yaitu Bakti Nurani yang pada tahun 1977—2000 dinakhodai oleh Ratna. Melalui Bakti Nurani, Ratna membangun jaringan keluar dengan berba- gai organisasi untuk membangun kekuatan. Tidak saja dengan sesama organisasi penyandang cacat, tetapi juga organisasi sosial lainnya. Baginya, membangun jaringan dapat menggalang kekuatan yang mempercepat proses perubahan masyarakat. Kekuatan jaringan yang dibangun Ratna tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri hingga pada tahun 1993, ia diundang untuk hadir dalam seminar Hak Asasi Manusia di Sidney, Australia sebagai delegasi dari Indonesia.

Ratna Indraswari Ibrahim lahir dari keluarga besar. Ia adalah anak keenam dari sebelas bersaudara, lima laki-laki dan enam perempuan. Ratna dilahirkan di Kota Malang, Jawa Timur pada 24 April 1949. Darah keluarganya mengalirkan minat menulis yang tinggi dalam diri Ratna. Ia sendiri mengakui bahwa kelahirannya dalam keluarga Saleh Ibrahim (ayahnya) membawanya pada perasaan seperti anak ikan yang bertemu dengan air. Ayahnya, Saleh Ibrahim yang berdarah Padang adalah seorang penulis dan aktivis. Beberapa karya tulisnya menghiasi sejumlah media massa pada saat itu. Sayang, Saleh Ibrahim tak bisa menemani Ratna hingga melihat putrinya ini menunjukkan kemampuan menulisnya. Pada tahun 1967, ayah Ratna meninggal akibat kanker. Umur Ratna saat itu baru 18 tahun.

Ratna sangat mengagumi ayahnya. Lelaki ini mengajarkan anak-anaknya untuk membeli dan membaca buku. Karena itulah, koleksi buku Ratna banyak sekali, mencapai 1.000 judul. Semenjak ayahnya meninggal, Ratna menapaki kehidupan bersama ibunya, Siti Bidahsari Arifin, orang Padang berdarah campuran. Tidak jauh berbeda dengan ayahnya, ibunda Ratna juga yang suka menulis dan melukis. Ibunyalah yang memperkenalkan Ratna pada kemandirian dalam hal menulis.

Suatu kali, ibunya pernah mengatakan, “Perempuan itu jangan ngobrol saja, perempuan itu harus menulis, menulis apa saja. karena dengan menulis, ia dapat menemukan dirinya,” ujar Ratna mengutip kata-kata sang Ibu. Tampaknya, ucapan tersebut dipegang teguh oleh Ratna, bahkan hingga kini. Pada tahun 1975, cerpen pertama Ratna berjudul “Jam” dimuat dalam sebuah majalah remaja MIDI. Sejak saat itu, Ratna semakin memantapkan hati, jiwa, dan pikirannya untuk menulis.
Dalam kesehariannya, aktivitas Ratna cukup sederhana, yakni membaca, menulis, berdiskusi, dan berorganisasi. Beberapa waktu memang Ratna harus keluar rumah untuk mendatangi sejumlah seminar, baik tentang politik, sosial, maupun budaya. Ratna aktif menghadiri seminar-seminar, baik sebagai peserta maupun pembicara. Bagi Ratna, tidak ada kerugian apa pun untuk mendatangi seminar, malah menambah wawasan.

Tidak jarang pula Ratna bergabung  bersama teman-temannya untuk turun  ke jalan memprotes sejumlah kebijakan pemerintah daerah yang menyangkut  isu kebudayaan, perempuan, lingkungan, dan aksesibilitas bagi difabel. Ia juga kerap hadir untuk memberi dukungan pada sejumlah aksi mahasiswa, seperti aksi mogok makan yang dilakukan mahasiswa untuk memprotes kebijakan pemerintah daerah. Ratna memang tidak bisa bergabung terus-menerus, tetapi kehadirannya mampu menambah dukungan moral.

Solidaritasnya yang tinggi membuat Ratna dikenal hampir di semua kalangan. Hal ini tampaknya berpengaruh bagi kehidupan Ratna. Hidupnya tak pernah sepi. Dalam keseharian, ia terus menciptakan arus bagi setiap aktivis LSM, mahasiswa, budayawan, wartawan, para difabel, birokrat, pendidik, dan elemen masyarakat lainnya. Rumahnya di Jalan Diponegoro 3, Malang tak pernah sepi dari kehadiran seorang teman, masyarakat biasa, hingga sejumlah tokoh besar, seperti budayawan dan politisi. Ratna tidak pernah membeda-bedakan siapa saja yang datang ke rumahnya. Kehadiran rekan-rekannya merupakan spirit baru bagi Ratna untuk semakin memahami kehidupan. Mereka banyak membantu, menjadikan Ratna kuat dan percaya diri.

Di rumahnya, di atas kursi roda, ia mendengar banyak cerita dan keluhan tentang ketidakadilan sosial. Cerita-cerita inilah yang kerap kali menjadi ide bagi setiap cerpen-cerpennya yang hampir selalu berangkat dari kenyataan sosial. Dengan sabar Ratna mendengarkan cerita yang kadang kala cukup menyesakkan dadanya. Setiap cerita kehidupan itu selalu melahirkan korban. Ratna sendiri menyebut teman-temannya sebagai “kunang-kunang”, penerangan bagi dirinya. Ratna senantiasa mengikat komitmen dengan setiap temannya dan menjaga komitmen itu. Inilah yang membuat setiap orang memiliki komitmennya sendiri dengan Ratna.

Ratna mempunyai kegemaran membaca sejak kecil. Sewaktu SMA ia telah membaca sejumlah buku “berat” untuk dibaca anak seusianya, seperti buku karangan Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi dan bacaan-bacaan Marxis. Kebiasaan membacanya ini mengajarkan Ratnapada banyak haltentang kehidupan. Kebiasaan membaca inilah yang menjadi teman hidupnya sehari-hari. Koleksi buku Ratna banyak, hampir setiap ada buku baru ia beli. Teman- temannya selalu menginformasikan adanya buku baru atau buku bagus. Ia lalu menitip temannya untuk membelikan karena ia sadar, mobilitasnya terbatas. Ditambah pula, sejak ibunya meninggal, praktis Ratna menjalani hidupnya seorang diri. Ia hanya ditemani tiga temannya yang siap membantu Ratna menjalani aktivitas sehari-hari, mulai dari makan, mandi, ke toko buku, menghadiri seminar, sampai mengetikkan makalah atau naskah cerpennya.

Sumber: