Mengenang Ratna Indraswari Ibrahim: Menulis Cerpen, Mengabarkan Kenyataan

Mengenang Ratna Indraswari Ibrahim: Menulis Cerpen, Mengabarkan Kenyataan

Ratna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dengan honor menulis cerpen, juga pembayaran sewa kamar-kamar di rumahnya yang diindekoskan. Meskipun saudara-saudaranya sedia membantu, namun bukanlah Ratna bila tidak bisa mandiri. Ia harus belajar bertanggung jawab atas dirinya sendiri, untungnya keluarga Ratna bisa memahami hal itu. Dengan penghasilan terbatas, ia menyuguhkan secangkir kopi dan sepiring makanan kecil untuk teman-temannya yang datang ke rumahnya yang selalu terbuka. “Silakan mau makan, berdiskusi, menginap, atau apa saja selama saya bisa membantu, saya akan bantu, asalkan mau dengan kesederhanaan,” kata Ratna yang pernah menjadi mahasiswa Fakultas Ilmu Administrasi di Universitas Brawijaya ini namun mengundurkan diri.

Dalam menulis cerpen, ia tidak selalu meminta bantuan temannya untuk mengetikkan. Terkadang Ratna juga menuliskan naskah cerpennya sendiri, ia hanya minta disiapkan komputer di depan kursi rodanya. Dengan sepasang sumpit sebagai “tangannya”, Ratna menekan tombol huruf pada keyboard komputer secara perlahan dan penuh kesabaran. Cukup lama waktu yang dibutuhkan Ratna untuk mengetik satu kata menjadi kalimat lalu paragraf, apalagi sebuah cerpen. Setiap tombol yang ditekan membutuhkan waktu kurang lebih setengah menit, maka ia membutuhkan waktu berjam-jam untuk sebuah cerpen. Apakah ini menjadi hambatan? Tidak, justru di situlah pergulatan batinnya terjadi hingga mampu memberikan jiwa pada setiap karyanya. Dengan kesabaran, ketekunan, dan komitmen, Ratna tidak saja produktif menghasilkan cerpen, tetapi juga menghasilkan cerpen yang tajam.

Selain menjadi cerpenis lepas, Ratna juga menjadi aktivis sosial dengan menjadi salah satu pendiri Yayasan Entropic, sebuah yayasan yang peduli pada isu lingkungan hidup. Bagi Ratna, alam memberikan kehidupan bagi manusia. Sungguh suatu kebiadaban bila alam harus dirusak oleh kelompok-kelompok yang mementingkan dirinya sendiri. Dari alam pun Ratna mengahasilkan sejumlah cerpen yang membela kelestarian lingkungan hidup.

Pada tahun 1998, Ratna mendirikan Yayasan Pajoeng dan menjadi koordinator litbang di sana. Yayasan Pajoeng adalahsebuahyayasanyang bergerak dalam bidang pengembangan kebudayaan di Kota Malang. Kebudayaan, menurut Ratna, adalah sumber peradaban. Sebuah bangsa menjadi kurang beradab ketika kehilangan akar kebudayaannya karena setiap kehidupan merupakan refleksi kebudayaanya. Ratna juga menjadi pionir bagi perkumpulan aktivis dari berbagai elemen di Kota Malang yang tergabung dalam Forum Pelangi. Komunitas diskusi ini aktif melakukan kajian dan tukar informasi antarelemen masyarakat di Kota Malang. Ratna dan teman-temannya di Malang juga membidani lahirnya Jurnal Naraswari yang memfokuskan isinya pada isu perempuan dan kesetaraan gender. Media ini diharapkan dapat membantu masyarakat untuk memahami sejumlahketidakadilan gender yang terjadi di sekitarnya.

Kepedulian Ratna terhadap persoalan perempuan bukanlah hal baru. Pada tahun 1995, Ratna pernah menjadi delegasi Indonesia pada Kongres Perempuan Internasional di Beijing, China. Pada tahun 1997, Ratna juga menghadiri Kongres Perempuan Sedunia di Washington DC, USA. Pada tahun 1993, pemerintah Indonesia memberinya penghargaan sebagai Perempuan Berprestasi. Dalam soal belajar, ia tidak akan pernah berhenti, “Belajar itu tidak pandang usia dan kapan pun,” demikian tuturnya. Itulah kebanggaan Ratna ketika mengikuti pelatihan kepemimpinan MIUSA (Mobility International United Statesdi Eugene, Orengon, USA pada tahun 1997.

Mengabarkan Kenyataan Lewat Cerpen
Ratna sendiri sudah lupa sudah berapa banyak cerpen yang dilahirkannya. Yang  jelas,  Namanya  Massa  (Yogyakarta:  Penerbit  LKis,  2000)  adalah judul buku kedua kumpulan cerpennya. Kehadiran buku tersebut menjadi tonggak ketekunannya selama 25 tahun menggeluti dunia sastra. Sebelumnya, Ratna juga pernah melahirkan kumpulan cerpen berjudul Menjelang Pagi (1995) dan yang terbaru adalah buku kumpulan cerpennya yang ketiga berjudul Lakon di Kota Kecil (Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2002). Ketiga buku tersebut hanya berisi reproduksi ulang cerpen-cerpen Ratna yang pernah dimuat di media massa, namun itu bukan berarti sebuah ide dan intelektualitas hanya terukur dari kuantitas karya. Ratna adalah orang yang sangat menghormati proses.

Memahami proses adalah memahami persoalan secara lebih substansi dan mendalam. Ia lebih senang orang mengenalnya secara proses, bukan sebagai Ratna yang sekarang ini. Konsistensinya pada proses telah melahirkan cerpen-cerpen yang cerdas. Kompas sebagai koran nasional hampir tak pernah meluputkan nama Ratna dalam setiap penerbitan buku kumpulan cerpen pilihan Kompas. Salah satu karya Ratna adalah “Bunga Kopi” yang terdapat dalam kumpulan Cerpen Pilihan Kompas Tahun 2007.

Cerpen-cerpen Ratna senantiasa mengabarkan kepada kita bahwa ada penindasan dan ketidakadilan yang terjadi di sekitar kita. Cerpen adalah media yang dipilihnya untuk mengungkapkan perasaannya dalam melukiskan sebuah kisah. Cerita dalam cerpen-cerpen Ratna berangkat dari kenyataan sosial yang didapatnya dari teman-temannya. Melalui cerpen, setiap pembaca diajak untuk memahami realitas sosial tersebut untuk pada akhirnya turut merasakan, apakah dirinya menjadi penindas atau yang tertindas. “Itulah tugas cerpen, mengabarkan sebuah kenyataan dan membangunkan mimpi kita dalam sebuah kisah,” kata Ratna yang menemukan jati dirinya dalam pekerjaan menulis cerpen.

Ada banyak pilihan untuk mensosialisasikan gagasan dan pengalaman, Ratna memilih menulis untuk mengekspresikan semua itu. Dengan menulis ia merasa semua orang dapat membaca, kapan pun dan dimana pun. Meskipun minat baca di Indonesia masih rendah, Ratna percaya bahwa dari hal yang kecil itulah akan tercipta sesuatu yang besar. Bila kita tengok cerpen Ratna yang berjudul “Rambutnya Juminten” yang dimuat Kompas, 18 Juli 1993, kita akan dapatkan bagaimana Ratna mengabarkan suatu realitas masyarakat yang sangat mengagungkan suami sebagai kepala rumah tangga. Juminten adalah seorang istri yang dikategorikan “setia” dan ideal dalam ukuran masyarakat yang menganut paternalisme tinggi. Sebagai seorang Istri, Juminten mau melakukan apa saja demi sang Suami, termasuk memanjangkan rambutnya, meskipun dalam hatinya sangat bertolak belakang. Cerpen itu cukup kuat memaksa kita untuk tersadar bahwa perilaku paternalistis menjadikan perempuan tak berdaya. Cerpen tersebut terpilih dalam Cerpen Pilihan    KompasTahun 1995 dan menjadi nominasi Cerita Pendek Perempuan di tingkat ASEAN pada tahun 1996.

Selain “Rambutnya Juminten”, beberapa cerpen Ratna juga mempunyai prestasi terbaik, seperti “Jerat” yang masuk dalam Cerpen Pilihan Kompas Tahun 1993; “Bajunya Bu Boni” menjadi pemenang ketiga Sayembara Cerpen Majalah Wanita Femina tahun 1996; “Perempuan itu Cantik“ termasuk dalam Cerpen Pilihan Kompas Tahun 1996 dan masuk seleksi Yayasan Lontar, Jakarta; dan “Seruni” yang menjadi salah satu pemenang Sayembara Cerber Majalah Wanita Femina tahun 1998. Cerita terakhir ini mengisahkan pemberontakan seorang mahasiswa kedokteran dalam melawan tradisi. Selanjutnya, pada tahun 2000, cerpennya kembali terpilih menjadi cerpen pilihan Kompas.

Sejumlah cerpen Ratna memang tidak sekadar cerpen. Ia mewakili sepotong kenyataan sosial yang terjadi. Memahami cerpen Ratna tidak bisa hanya dengan dibaca, tetapi juga harus dirasakan karena di situlah letak kekuatan cerpennya. Ia dapat menjelaskan realitas yang selama ini dipandang keliru oleh banyak orang berkaitan dengan perspektif kemanusiaan. Cerpen Ratna mengajak kita untuk bisa memahami setiap persoalan tidak dari satu perspektif, tetapi dari banyak sisi. Perspektif yang beragam dapat membantu kita untuk memahami setiap persoalan tersebut, seperti yang dikatakan Ratna, “Bahwa kebenaran seseorang itu tidak bisa dipandang dari satu sisi. Kebenaran itu hendaknya dilihat dari sisi dan perspektif yang lebih luas. Melalui share pendapat dan berbagi pengalaman, saya kira setiap persoalan yang muncul dapat lebih jelas tingkat kebenarannya.”

Memihak Perempuan Lewat Cerpen

  • Juminten mengangkat bahunya yang indah, “Kang, saya ingin memotong rambutku semodel Marni. Dia bilang, saya akan kelihatan rapi, kalau potongan rambutku pendek.” “Kamu bersolek, kan, untuk suamimu, iya, kan?” (“Rambutnya Juminten”, 1993). 

Penggalan di atas adalah cuplikan dialog dari cerpen Ratna berjudul “Rambutnya Juminten”. Cerpen tersebut adalah salah satu cerpen terbaiknya dan—dapat dikatakan—mewakili perasaan Ratna akan kegelisahanya terhadap kondisi perempuan di negeri ini. Juminten mewakili kebanyakan perempuan di  negeri ini yang harus tunduk dan patuh kepada suaminya. Ini bukan karena Juminten tidak punya keinginan lain, melainkan kultur sosial masyarakat yang paternalistis membuat Juminten harus merelakan “dirinya” untuk diperlakukan sekehendak suaminya.

Dalam cerpen tersebut Juminten menuruti saja apa kata suaminya yang menginginkan rambutnya agar tetap dipanjangkan. Mau tidak mau, suka tidak suka, Juminten harus memanjangkan rambutnya. Sementara itu, di sisi lain, tren mode rambut pendek tampaknya menjadi pilihan hampir setiap perempuan. Juminten tidak saja mewakili perasaan Ratna, tetapi Juminten juga mewakili perasaan sebagaian besar perempuan yang hidup dalam hegemoni patriarki. Perempuan tidak pernah menjadi dirinya sendiri. Ia hadir untuk memenuhi selera para laki-laki.

Teralienasinya perempuan oleh kekuasaan laki-laki inilah yang menurut Ratna setidaknya harus menjadi perhatian setiap insan. Sama halnya dengan komentar Budi Dharma (Guru Besar Sastra Inggris di IKIP, Surabaya), bahwa Juminten merupakan korban konstruksi sosial masyarakat. “Sebagai anggota masyarakat, ia semata komponen. Ia dibentuk oleh kehendak-kehendak dari luar, bukan dari dirinya sendiri,” kata Budi Dharma.

Ratna memang bertekad untuk membongkar realitas patriarki ini melalui cerpen-cerpennya. Ratna menginginkan tumbuhnya kesadaran kolektif untuk bersama-sama menggugah kesadaran perempuan yang teralienasi oleh hegemoni patriarki. Ratna sangat perhatian terhadap persoalan perempuan yang telah menikah. Menurutnya, sudah banyak contoh yang menggambarkan bagaimana perempuan yang menikah selalu menjadi objek kekerasan oleh suaminya, entah itu secara fisik, psikologis, maupun secara ekonomi. Ratna berpandangan bahwa sebagai istri, perempuan yang menikah, harus berani menunjukkan hak-haknya sebagai warga negara yang sama dalam perlakuan di mata hukum.

Hal ini tampak dalam komentar Ratna yang cukup keras ketika menyikapi persoalan kekerasan dalam rumah tangga, “Istri harus berani melapor ke polisi bila ia dipukul oleh suami,” tegasnya. Pernyataan ini sangat jelas memberi pemahaman bahwa suami dalam instrumen perkawinan, tidak punya hak untuk melakukan kekerasan terhadap istri atas dalih apa pun. Untuk itu, istri wajib melaporkan kepada polisi bila ia mengalami kekerasan sekecil apa pun. Sebagai cerpenis, Ratna hanya bisa mengkisahkan kegelisahannya tersebut dalam sebuah cerpen. Ia pun sering kecewa terhadap tayangan-tayangan televisi yang hampir sebagian besar mengeksploitasi perempuan. Ratna khawatir bahwa citra perempuan yang terbangun melalui televisi yang suka menangis, sebagai pekerja rumah tangga, tidak mempunyai daya kreativitas berpikir, bercitra sensual, ditangkap secara mentah-mentah oleh masyarakat. Tayangan televisi ataupun media cetak adalah agen yang efektif untuk mempengaruhi masyarakat. Bila tayangan televisi sendiri telah mengalami bias gender, maka jangan disalahkan bila masyarakat akan mencontoh perilaku seperti yang tertangkap di televisi atau media cetak selama ini.

Sumber: