Menyoal Bisnis Limbah Medis B3 di Cirebon

RAKYATCIREBON.ID-Bulan Desember 2017, tim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menemukan ratusan karung berisi limbah medis di enam gudang di Kecamatan Panguragan, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Limbah medis yang ditemukan antara lain berupa jarum suntik bekas, kantong infus bekas, dan labu darah bekas transfusi.
Padahal, limbah-limbah medis ini sangat berbahaya bagi kesehatan dan harus dikelola secara khusus. Selang infus, jarum suntik, ampul darah, dan obat-obatan kedaluwarsa adalah beberapa contoh limbah medis yang berpotensi diperjualbelikan kembali dan merugikan masyarakat. Belum lagi, limbah medis ini masuk dalam kategori limbah B3 yang dapat mencemari lingkungan serta berbahaya bagi manusia.
Hingga 2018, hanya tersedia 6 pengolah limbah medis berizin di Indonesia dengan kapasitas produksi 120,48 ton per hari. Padahal, menurut estimasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), hingga 2018, timbulan limbah medis mencapai 300-340 ton per hari dari 2.781 rumah sakit pemerintah dan swasta. Sementara jumlah rumah sakit yang memiliki izin mengolah limbah medis hanya 107 rumah sakit dengan total kemampuan mengolah 50 ton limbah medis per hari.
Untuk memenuhi kekurangan itu, hingga akhir 2019, KLHK tampak menggenjot penerbitan izin pengolahan limbah medis. Jumlah pengolah limbah medis pun bertambah menjadi 12 perusahaan, dan kapasitas pengolahan meningkat jadi 301,7 ton per hari. Jumlah itu masih belum bisa memenuhi estimasi timbulan limbah medis yang bisa mencapai 340 ton/hari.
Namun, mengutip temuan investigasi Kompas, selama November-Desember 2019, limbah medis ternyata mudah diperoleh di lapak-lapak pemulung dan tempat pengolah sampah daur ulang. Beberapa daerah yang diduga menjadi tempat distribusi limbah medis ilegal termasuk Bandung, Bandung Barat, Cirebon, dan Tangerang.
Muncul pertanyaan, apakah kasus tersebut murni disebabkan kurangnya pengawasan dari pemerintah atau ada faktor lain? Lalu, seperti apa Kementerian Kesehatan harus menyoroti masalah ini?
Laporan United States Government Accountability Office (GAO) berjudul Action Needed to Sustain Agencies’ Collaboration on Pharmaceuticals in Drinking Water mengemukakan bahwa obat-obatan yang dibuang dapat masuk ke lingkungan dan pada akhirnya masuk ke pasokan air dengan berbagai cara. Ketika cairan kimiawi tersebut terkontaminasi dengan air minum yang dikonsumsi, berpotensi mengancam kesehatan warga.
Hal itu dipertegas oleh David JC Constable, Direktur Sains dari Green Chemistry Institute American Chemical Society, yang mengatakan campuran bahan kimia dalam air minum, makanan, dan udara tidak baik untuk kesehatan.
Menimbang kandungan kimiawi berbahaya yang terdapat pada limbah medis, pengelolaannya pun diatur sedemikian ketat.
Sebagaimana mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 7 Tahun 2019, disebutkan semua limbah medis dikategorikan sebagai limbah berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan.
Untuk itu, pengelolaan limbah medis dilakukan secara aman dan tertutup oleh penghasil limbah – dalam hal ini rumah sakit, puskesmas, dan klinik – dan pihak ketiga – perusahaan pengolah limbah medis – yang mendapat izin sesuai peraturan perundangan. Dalam regulasi tersebut ditegaskan limbah medis tidak boleh bocor ke masyarakat.
Jika merujuk pada regulasi tersebut, bisa dikatakan setiap penghasil limbah medis dituntut untuk tidak membuang atau melepaskan limbahnya secara sembarangan, kecuali menurut ketentuan yang telah diatur. Jangankan membuang sembarangan, membiarkannya bocor ke publik saja sudah dianggap melanggar ketentuan.
Dengan demikian, serentetan kasus ditemukannya limbah medis di sejumlah tempat harusnya menjadi tanggung jawab pemroduksi limbah dan harus ditindak tegas para pelakunya.
Pertanyaannya, mengapa fenomena keterceceran limbah medis di sejumlah tempat masih terus terjadi? Bahkan, kasusnya pun tergolong semakin berbahaya lantaran ada indikasi transaksi bisnis limbah medis ilegal.
Sumber: