Maman Janji Perjuangkan Nasib Agama yang Tidak Diakui Negara

Maman Janji Perjuangkan Nasib Agama yang Tidak Diakui Negara

JATIWANGI – Koordinator Kaukus Pancasila KH Maman Imanulhaq meminta pemerintah tidak perlu untuk mengkotakkan, mana agama resmi dan aman yang tidak resmi. Bahkan, ia berjanji akan memperjuangkan agama yang tidak diakui negara. 
\"kaukus
Kaukus Pancasila minta pemerintah tak mengkotakan agama. Foto: Herik/Rakyat Cirebon
\"Kami menemukan tidak ada bahasa agama resmi dan agama yang tidak resmi. Yang ada hanyalah soal administrasi saja. Oleh karena itu, kami akan perjuangkan agar yang tidak termasuk agama yang tidak diakui menjadi diakui,\" tegas Maman kepada Rakyat Cirebon, Minggu (17/9).

Menyinggung soal agama yang belum diakui pemerintah, Maman menyebutkan, di Majalengka juga masih ada Ahmadiyah dan Sunda Wiwitan. Pihaknya akan memperjuangkan agar mereka mendapatkan tempat dalam pencantuman dalam identitas.

\"Di Majalengka ada Ahmadiyah, ada Sunda Wiwitan. Sekali lagi saya tegaskan sesungguhnya tidak perlu risih dengan sebutan pemerintah terhadap agama resmi maupun tidak resmi,\" tandasnya.

Menurutnya, keenam agama yakni Islam, Kristen, Katolik, Budha, Konghucu dan agama Hindu yang diakui permerintah, secara konstitusi pemerintah tidak perlu turut campur dalam hal status agama. 

Apalagi menggolongkan agama resmi dan tidak resmi. “Alasannya, karena sudah ada UUD yang membebaskan setiap warga negara Indonesia berketuhanan Yang Maha Esa,” jelasnya. 

Aktivis Kaukus Pancasila, Sinta juga setuju dengan Maman. Menurutnya, negara tidak perlu ikut campur membedakan terhadap agama resmi atau tidak resmi. 

Pasalnya, kata dia, berdasarkan pasal 28 E ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.

\"Dalam pasal tersebut telah jelas agama secara umum. Secara konstitusi pemerintah tidak perlu turut campur dalam hal status agama. Karena, sudah ada UU yang menyebutkan berketuhanan yang Maha Esa. Tidak ada pembedaan agama resmi dan tidak resmi. Karena, yang terpenting individu tersebut bisa percaya kepada Tuhan yang Maha Esa,\" ungkap Sinta.

Selain itu, kata dia, berdasarkan pasal 4 Undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan, setiap orang punya hak untuk hidup, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum.

“Serta, hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun,” imbuhnya. (hrd)

Sumber: