Pemilik Rumah Sengketa di Paseban Angkat Bicara
Senin 28-08-2017,09:00 WIB
KUNINGAN - Permasalahan sengketa sebidang tanah yang dikatakan sebagai tanah adat ini, tidak lepas dari sosok Ibu Mimin (69) sebagai pihak tergugat. Bahkan, pihak keluarga pun ketika dikonfirmasi, Minggu (27/8) merasa kecewa kepada pewarta yang tidak menghubungi langsung pihak Ibu Mimin terkait sengketa sebidang tanah tersebut.
|
Kristiana Mimin Kusnadi. Foto: Gilang/Rakyat Cirebon |
Wanita paruh baya bernama lengkap Kristiana Mimin Kusnadi menceritakan kepada Rakyat Cirebon terkait sengketa tanah yang sekarang ditimpati oleh dirinya.
Menurutnya, walaupun dirinya bukan merupakan keturunan langsung dari silsilah keluarga di Paseban. Akan tetapi, awal mula menempati sebidang tanah yang sekarang menjadi sengketa atas permintaan Pangeran Tedja Buana, yang mana diminta untuk dibangun rumah singgah.
Walaupun diminta membangun rumah dan ditempati sambung Mimin, bukan berarti tanpa melakukan hal apa-apa. Dikatakannya, dirinya bersama mendiang suaminya yakni, Engkus Kusnadi, diminta untuk dekat dengan Pangeran Djatikusumah dalam mengembangkan seni budaya dan kesenian khsusunya di Paseban, Cigugur, Kuningan.
“Di Cigugur kan suka ada yang disebut Seren Taun, nah semua unsur seni mulai dari seni, musik, tarian dan lainnya, semuanya dibuat oleh suami (Engkus Kusnadi, red) saya melalui persetujuan Pangeran Djatikusumah,” ujarnya.
Dijelaskannya, rumah yang ditempatinya saat ini dibangun pada tahun 1973. Sedangkan informasi beredar saat ini yang mana dikatakan pihak Djaka Rumantaka menyebutkan rumah dibangun pada tahun 1980, itu salah besar.
“Kan yang membuat rumah ini saya, berarti yang membeli bahan dan mengerjakan ya saya. Bahkan, waktu ritual pembuatan rumah bapak (Djatikusumah, red) menghadiri dan Siti Djenar (Ibunya Djaka, red) juga ada. Saya merasa aneh, karena ibunya ada pada saat itu ” paparnya.
Bahkan kata Mimin, ibunya Djaka Rumantaka sendiri menyaksikan pembuatan rumah dan tidak ada kata protes yang keluar dari mulutnya. Mungkin lanjut Mimin, kalau ibunya melarang pada saat pembangunan tidak diperbolehkan.
“Tapi sekarang si Djaka yang tidak tahu menau menggugat dan membuat sertifikat palsu yang dibikin oleh lurah dan sekretaris desa Cigugur pada saat itu yakni, Utari dan Murkanda,” katanya.
Terpisah, perwakilan warga Kuningan, Maksum Madrohim meminta, semua bisa menghargai keputusan hukum dan tidak boleh mengintervensi keputusan hukum tersebut.
Menurut Maksum, sudah seyogyanya selaku warga Sunda mempunyai keharusan untuk menjaga kelestarian cagar kebudayaan yang ada di lingkungan mereka.
Namun ia memandang yang terjadi di Kuningan kemarin terdapat kesalahpahaman, khususnya mengenai cagar budaya sunda wiwitan yang ada di Kecamatan Cigugur.
Sebagai warga masyarakat hendaknya berpandangan secara balance (berimbang,red), ketika ada persoalan yang sudah masuk ke ranah hukum maka siapapun dia baik eksekutif maupun legislatif tidak bisa mengintervensi keputusan hukum tersebut.
“Baru-baru ini ada aksi demo warga Sunda Wiwitan Cigugur dan juga LSM yang peduli dengan pelestarian cagar budaya, ini sungguh sangat luar biasa dan saya mengapresiasinya. Tapi ketika sebuah persoalan sudah masuk ke ranah hukum maka siapapun dia baik eksekutif maupun legislatif tidak bisa mengintervensi keputusan hukum itu. Kita hidup di Negeri yang berdasarkan hukum, bahkan hukum merupakan panglima di atas panglima di negeri ini,” ujar Maksum, kemarin (27/8).
Ketika ranah hukum ada yang coba-coba memanfaatkan demi kepentingan politik, lanjut dia, maka tidak menutup kemungkinan kegaduhan dan kondusufitas daerah akan terganggu. Kalau memang benar pun persoalan cagar budaya Sunda Wiwitan Cigugur sedang menuai persoalan dan sudah masuk ke ranah hukum, maka serahkanlah semua itu kepada keputusan hukum. Selaku warga negara yang baik adalah mereka yang taat hukum dan patuh terhadap putusan hukum.
“Jangan sampai dengan adanya momentum Pilkada dimanfaatkan untuk mencari pencitraan, sehingga melenceng dari kontek subtansi yang sebenarnya. Mari kita selaku warga Kuningan ciptakan kondusifitas yang mutlak. Sungguh disayangkan jika ada kelompok yang mencoba memprovokasi untuk membangkitkan emosi kesalahpahaman. Menyampaikan aspirasi dengan cara tertulis maupun ucapan dengan orasi itu hak sebagai warga negara dan itu merupakan sebuah kebebasan di alam merdeka, namun harus kita ingat bahwa kebebasan berbicara tentunya kita selaku manusia yang normal ada batasan-batasan yang dinamakan etika dan akhlak,” tutur Maksum. (gio/muh)
Sumber: