Maman: Ide Sekolah 5 Hari Tak Sejalan dengan Visi Jokowi

Maman: Ide Sekolah 5 Hari Tak Sejalan dengan Visi Jokowi

MAJALENGKA – Anggota DPR RI KH Maman Imanulhaq menilai rencana sekolah lima hari yang digagas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Prof Muhadjir Effendi tidak sejalan dengan visi presiden Jokowi.
\"maman
 Maman Imanulhaq. Foto: Herik/Rakyat Cirebon
\"Seharusnya, Mendikbud sejalan dengan visi Presiden Jokowi dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan di Madrasah dan Pesantren.‬ Dalam kampanye Politiknya, Jokowi berjanji akan membawa kualitas pendidikan Madrasah dan Pesantren menjadi lebih baik,\" ujar Maman, dalam rilis yang dikirimkannya, Selasa (13/6).

Maman menyebut, kebijakan Mendikbud justru kontraproduktif dengan visi dan harapan Presiden Jokowi. Maman menyesalkan sikap Mendikbud yang bersikeras kukuh mengeluarkan kebijakan tersebut. Padahal sejak awal digulirkan banyak yang menentang, termasuk dirinya yang keras menolak.

\"Kebijakan sekolah lima hari berpotensi mengancam eksistensi Madrasah Diniyah yang sekian lama ada tumbuh berkembang di masyarakat. Kinerja Jokowi dalam hal pendidikan sudah bagus. Justru, Mendikbud malah bikin gaduh dengan kebijakan kontroversial itu\", tambah Maman.

Karena itu, Politisi PKB itu meminta Mendikbud mengkaji ulang dan membatalkan kebijakan kontroversi itu. Melihat dinamika yang berkembang saat ini. Pemerintah harus bersikap arif untuk menghentikan kegaduhan yang timbul demi menjaga kondusifitas penyelenggaraan pendidikan nasional kita. 

\"Kami minta Pemerintah ambil langkah segera duduk bersama dengan semua pihak yang berkepentingan untuk menyerap masukan dan menemukan solusi terbaik\", pungkas Maman.

Sementara itu, Ketua Pimpinan Cabang Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (PC IPNU) Kabupaten Majalengka Iyan Gunawan menolak diberlakukannya gagasan lima hari sekolah. Ia meminta Mendikbud RI menarik kembali pernyataannya.

Ia mengeaskan, pernyataan Mendikbud yang tanpa merujuk pada peraturan perundang-undangan tak patut diucapkan oleh pejabat negara dan telah menyulut gejolak sosial.

Menurutnya, ada tiga hal dipandang dan perlu diperhatikan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Pertama, rencana menerapkan sekolah 5 hari terkesan menyederhanakan permasalahan dan tidak memperhatikan nilai-nilai yang hidup di masyarakat. 

Menurutnya, dalam membangun karakter siswa melalui Pendidikan, mestinya nilai-nilai pendidikan karakter yang terintegrasi dalam semua mata pelajaran dan sistem pengajaran yang lebih efektif yang lebih ditekankan. 

Daripada menambah jam belajar dalam sehari yang akan mengurangi interaksi siswa dengan keluarga ataupun dengan masyarakat. 

“Kedua, dengan mengeluarkan gagasan tanpa disertai kajian dan evaluasi yang komprehensif, Mendikbud dirasa berbuat tidak adil dan membangun opini publik bahwa sistem Pendidikan formal lah sebagai satu-satunya lembaga yang bertanggungjawab dalam mendidik masyarakat,” ujarnya.

Menurutnya, disisi lain ada lembaga Pendidikan non-formal seperti madrasah diniyah dan pesantren yang sebelum kemerdekaan Indonesia sudah turut serta mendidik masyarakat secara langsung.

Ketiga, kondisi infrastruktur dan fasilitas sekolah belum seluruhnya memadai untuk menunjang aktivitas siswa selama 8 jam di sekolah.

“Sesuai dengan Intruksi dari Pimpinan Pusat IPNU bahwa kami menuntut pemerintah memberlakukan otonomi sekolah secara lebih maksimal dan mempermudah birokrasi sekolah sehingga pendidik lebih fokus pada proses Pendidikan,” ujar.

Hal senada diungkapkan Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kabupaten Majalengka Aris Prayuda, SPd. Pihaknya menilai kebijakan lima hari delapan jam belajar di sekolah yang digagas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy berpeluang melanggar sejumlah undang-undang.

\"Kebijakan baru itu berpeluang bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen,\" katanya.

Aris Prayuda berpendapat, kebijakan baru tersebut berpeluang bertentangan dengan Pasal 51 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang selama ini cukup demokratis dan memandirikan satuan-satuan pendidikan. Pasal tersebut berbunyi 

\"Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah atau madrasah,\" ujarnya.

Pasal tersebut, kata dia, maka satuan pendidikan memiliki kemandirian untuk mengembangkan pilihan model sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan kesiapan masing-masing sekolah atau madrasah.

Kebijakan lima hari delapan jam belajar di sekolah juga berpotensi bertentangan dengan Pasal 35 Undang-undang Guru dan Dosen pada ayat satu dan dua. 

Karena itu, LPA Majalengka meminta Menteri Pendidikan dan Kebudayaan agar mengkaji kembali rencana kebijakan tersebut. Menurut Aris, membangun sistem pendidikan harus menyeluruh.

\"Dengan kebijakan baru lima hari delapan jam belajar di sekolah, guru berpeluang besar mengajar melampaui jumlah jam mengajar di sekolah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tersebut,\" katanya.(hsn/hrd)

Sumber: