Jabar Tertinggi Kasus Intoleransi
Rabu 24-05-2017,15:50 WIB
SUMBER – Kasus intoleransi di Provinsi Jawa Barat (Jabar) dinilai tertinggi se-Indonesia. Hal itu dikarenakan di daerah ini kerap kali terjadi hal-hal yang mengarah pada pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
|
Kegiatan diseminasi HAM di Cirebon. Foto: Yoga/Rakyat Cirebon |
Hal itu dikemukakan Kepala Bidang (Kabid) HAM pada Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Kantor Wilayah Jabar, Hasbullah Fudail.
Menurutnya, berdasarkan laporan dari beberapa lembaga penelitian yang dilakukan setiap tahun, di daerahnya memang tercatat paling tinggi kasus intoleransinya se-Indonesia.
“Sudah beberapa tahun berturut-turut di Jabar memang seperti itu, kasus intolerannya tertinggi se-Indonesia,” kata Hasbullah kepada wartawan, usai mengisi kegiatan
“Desiminasi Hak Asasi Manusia di Lingkup Kabupaten Cirebon” yang digelar Bagian Hukum Setda Kabupaten Cirebon, di salah satu Hotel di daerah Kedawung, Selasa (23/5).
Hasbullah mengaku, masih belum dapat memahami kenapa angka tertinggi kasus intoleransi tersebut berada di Jabar.
Hanya saja ia menyatakan, dimungkinkan karena di Jabar selain penduduknya padat, juga daerah ini sangat terbuka kepada siapapun.
“Padahal kan kita ketahui sendiri di Jawa Barat itu budayanya kan sangat menghormati orang. Maka perlu untuk diteliti dan identivikasi apakah orang-orang tersebut benar dari Jabar?,” katanya.
Sebab kata dia, bisa saja orang-orang atau kelompok yang melakukan hal-hal yang mengarah kepada intoleransi hanya orang-orang dari luar daerahnya yang kebetulan tinggal di Jabar. “Makanya Pemerintah Jabar agak keberatan atas penilaian seperti itu,” ujar Hasbullah.
Meski demikian, ia menyebutkan, kota/kabupaten di daerahnya yang mendominasi terjadinya kasus intolernasi yakni Bogor, Kuningan, dan Tasik.
“Kalau di Cirebon itu yang terakhir hanya kasus-kasus seperti terjadinya antar ormas atau LSM yang saya tidak perlu sebut namanya,” kata Hasbullah.
Lebih lanjut ia menyampaikan, upaya pemerintah untuk meminimalisir akan terjadinya kasus-kasus intoleransi yakni dengan cara menyosialisasikan tentang Permenkumham.
Oleh karena itu, kata dia, peran masing-masing pemerintah daerah melalui bagian hukum seharusnya mampu untuk memfasilitasi jika terjadinya kasus-kasus semacam itu di masyarakat.
“Artinya negara harus hadir disitu, jangan dibiarkan. Nah itu yang selama ini banyak pemerintah daerah tidak konsen. Ya mungkin terlalu banyak urusan,” ungkap Hasbullah yang juga pemateri dalam kegiatan tersebut.
Dalam kesempatan yang sama, pemateri lainnya dari Fahmina Institute, Rosidin menyampaikan, dalam perspekstif Islam, HAM merupakan hak-hak paling mendasar yang dimiliki setiap manusia. Karena dengan HAM manusia baik sebagai ‘abdullah maupun khalifatullah.
Selain itu, kata dia, HAM juga merupakan anugerah Allah kepada setiap manusia sejak dalam kandungan.
“Maka HAM berlaku untuk semua orang tanpa memandang ras, agama, jenis kelamin, enisitas, bangsa, asal-usul sosial, maupun politik. Karena HAM bersifat universal dan HAM tidak boleh dilanggar,” kata Rosidin.
Dengan itu, lanjut dia, setiap orang tidak mempunyai hak untuk membatasi atau melanggar hak orang lain. Dan setiap orang tetap mempunyai HAM, walaupun Negara membuat hukum yang tidak melindungi atau melanggarnya. (yog)
Sumber: