RAKYATCIREBON.ID, CIREBON - Akhirnya, perusahaan yang membebankan APBD terjawab sudah yakni PT Pintex Plumbon. Perusahaan itu, tidak membayarkan beban BPJS karyawannya. Malah dibebankan kepada APBD. Terang saja, APBD Kabupaten Cirebon pun bocor.
Hal itu terungkap, ketika ada audiensi antara pihak perusahaan, perwakilan pekerja, disnakertrans serta DPRD Kabupaten Cirebon, Senin (20/6).
"Dari 1045 pekerja, yang baru masuk kepesertaan BPJSnya itu baru 895 orang. Kami mendorong agar PT Pintex benar-benar mendaftarkan secara keseluruhan. Karena itu menjadi sebuah kewajiban dari perusahaan yang mempekerjakan karyawannya," kata Sekretaris Komisi IV DPRD Kabupaten Cirebon, H Mahmudi.
Ada alasan kenapa pihak managemen perusahaan melakukannya. Alasannya mengatasnamakan cost tinggi dan produksi mengurangi. Tapi apapun itu, lanjut Mahmudi, tidak bisa dibenarkan.
"Terlepas dari turunnya produk atau laba. Tetap tidak ada alasan. Harus mengaktifkan berdasarkan kepesertaan BPJS kepada pihak BPJS. Tidak ada alasan perusahaan, untuk tidak mendaftarkan kepesertaan karyawannya kepada BPJS. Dengan berbagai alasan," ungkapnya.
Politikus PKB itu memastikan, perubahan itu melanggar undang-undang ketenagakerjaan. PT Pintex ini, sudah berulang kali melakukan kesalahan.
"Memang perusahaan PT Pintex ini nakal," tukasnya.
Disamping itu, rupanya PT Pintex pun mem PHK secara sepihak 41 pekerjanya. "Kita juga akhirnya menemukan fakta baru bahwa ada PHK sepihak. Mereka menuntut yang di PHK itu paling tidak d pekerjakan kembali. Ada 41 orang yang di PHK," kata Mahmudi.
Keputusan itu, jelas telah melanggar undang-undang. Ditambah lagi, hak-hak pekerja tidak dipenuhi.
Sementara itu, Sekjen FSPMI Cirebon Raya, Moch Machbub menegaskan, masalah kasus di PT Pintex itu sejak 2017 lalu. Sebab, ratusan perusahaan tidak didaftarkan kepesertaan jaminan sosial. Ada 800 pekerja. Bayangkan. Jaminan sosial di cover dari pemerintah daerah atau menggunakan BPJS PBI.
"Kalau PBI itukan buat orang miskin. Orang tidak mampu. Ini bertolak belakang dengan UU jaminan sosial. Karena pekerja di perusahaan itu harus menggunakan UU Pekerja Penerima Upah (PPU). Artinya perusahaan pemberi upah yang menanggung," ucapnya.
"Ini problem perusahaan, bahwa perusahaan seolah-olah menanggung semua jaminan BPJS kesehatan, padahal itu PBI dari APBD daerah maupun APBN. Sama saja perusahaan itu makan haknya orang miskin," ucapnya.
Maka, wajar ketika anggaran pemerintah terjadi kebocoran. Itu data sejak 2017 lalu. Namun, data saat ini tersisa 200 pekerja yang belum status kepesertaan nya masih PBI. "Mirisnya, perusahaan mengaku hanya mampu memenuhi 86 persen mengikutsertakan pekerja kepesertaan BPJS PBU," paparnya.
"Itu gak boleh ketentuannya. Ngga ada rumusnya bahwa perusahaan hanya mampu sekian persen. Ngga ada. Pengusaha harus 100 persen memberikan jaminan sosialnya kepada pekerja. Gak ada toleransi," ungkapnya.
Disisi lain, lanjut Machub, pihak perusahaan justru merekrut karyawan baru. Ada 30 orang. Sementara, pihak perusahaan melakukan PHK kepada 41 pekerja. "Kalau kita asumsikan UMK Rp2,2 juta perusahaan mengeluarkan cosh yang lebih besar, Rp 66 juta. Padahal, anggaran itu bisa dikucurkan untuk menutupi jaminan kesehatan pekerja.
"Ini managemen perusahaan gimana, menumpuk - numpuk aturannya," terangnya.
Ia mengungkapkan, dampak dari perjuangan pekerja yang ngorek-ngorek hak kepesertaan BPJS PBI, pihak perusahaan akhirnya belas dendam dengan melakukan PHK. Data rill, ada 41 data pekerja yang di PHK sepihak.
"KIta minta pekerja yang di PHK dipekerjakan kembali. Karena secara hukum pengawas ketenagakerjaan tadi menjelaskan bahwa karyawan harus menjadi karyawan tetap," terangnya.
Kabid Hubungan Industrial Disnakertrans Kabupaten Cirebon, Isnaeni Jazila mengatakan, perusahaan PT Pintex itu jelas melanggar. Sebab, pemenuhan hak normatif yang difokuskan adalah jaminan sosial yang belum semuanya dipenuhi.
"Jadi ada 200an karyawan yang belum di didaftarkan kepesertaan jaminan sosialnya oleh pihak perusahaan. Tapi, kami disini sifatnya masih pembinaan. Dan terus mendorong perusahaan untuk mendapatkan sisa pekerja yang belum didaftarkan," ungkapnya.
Ia menjelaskan, ketika ada hubungan kerja antara pekerja, maka pemberi kerja itu sudah menjadi tanggungjawab mendaftarkan kepesertaan jaminan sosialnya. Baik BPJS Kesehatan maupun Ketenagakerjaan.
"Gak ada lagi toleransi atau tawar-tawar. 100 persen jaminan sosial harus di cover. Intinya, kalau dari sisi normatif, PT Pintex itu melanggar peraturan perundang-undangan. Hanya saja, kaitan dengan sanksi pihaknya tidak mempunyai kewenangan," imbuhnya.
Menurutnya, teguran sendiri sudah dilakukan oleh pihak BPJS maupun Wasnaker. Namun, endingnya pemerintah daerahlah yang bisa memberikan Sanksi. Yakni, tidak diberikan pelayanan publik.
"Kuncinya sanksi itu, ada di Pemda. Kalau dari kita si masih persuasif. Mempertimbangkan karyawan. Tapi yang disayangkan perusahaan justru melanggar aturan perundang-undangan. Saat ini kita masih wait and see aja perkembangan dari PT Pintex," tandasnya.
Ditempat yang sama, Kasi Pengawasan Ketenagakerjaan Wilayah Tiga Cirebon, Febriyanto mengatakan, berdasarkan informasi yang didapat, dengan persoalan PHK sepihak oleh PT Pintex sedang proses mediasi. Sementara dari sisi aturan, alasan dari mereka (managemen perusahaan), pekerja itu statusnya kontrak.
"Tapi, kalau dari kami status pekerja itu bukan kontrak (karyawan tetap). Sebab, jika dilihat dari jenis pekerjaannya rutin dan berkelanjutan. Artinya, tidak ada istilahnya habis kontrak. Kalau pun harus PHK, hak-hak karyawan dipenuhi," pungkasnya.
Terpisah, Perwakilan PT Pintex, Susilo mengaku, kemampuan perusahaan mengcover jaminan sosial itu hanya 86 persen. Tidak bisa 100 persen. Karena ada peningkatan cost produksi.
"Adapun hasil rapat bersama semua pihak, nanti disampaikan ke pimpinan kami," singkatnya. (zen)