
CIREBON,RAKYATCIREBON.DISWAY.ID –
Pesantren Bina Insan Mulia 1 dan 2 Cirebon telah menghasilkan ratusan hafidz dan hafidzoh dalam waktu singkat. Hanya 4 bulan saja dari program tahfidz BimaQu. Ratusan alumninya mendapatkan beasiswa, kuliah di sejumlah kampus internasional di Timur Tengah.
Seperti Al-Azhar Mesir, Az-Zaytunah Tunisia, atau Al-Qarawiyyin Maroko. Kampus tersebut mensyaratkan hafal Al-Quran. Selain itu, banyak juga santrinya yang mendapatkan beasiswa di kampus ternama dalam negeri.
Pengasuh Pesantren Bina Insan Mulia Cirebon, KH Imam Jazuli Lc MA menjelaskan semester ini, Program Tahfidz Bina Insan Mulia mencetak 309 hafidz dan hafidzoh 30 juz dari 822 peserta. Sisanya, ada yang hafal 25 juz, 20 juz, 10 juz dan 5 juz.
Untuk merayakan kesyukuran, Pesantren Bina Insan Mulia menggelar wisuda untuk Program Tahfidz dan Program Tarjamah di Saphire Ballroom, Aston Hotel & Convention Center, belum lama ini.
“Program Tarjamah sebagai pembekalan lanjutan bagi santri untuk memberi pemahaman yang lebih luas dan mendalam agar jangan sampai hafalan dan bacaan mereka hanya sampai di tenggorokan," katanya.
"Di samping itu, semua program di Bina Insan Mulia dimaksudkan untuk memberi pengalaman belajar yang dapat memperkaya koneksi otak (dendrit) para santri,” pesan Kiai Imam Jazuli di hadapan santri dan wali santri.
Kiai Imam Jazuli mengingatkan bahaya kesombongan dalam beragama. Ia mencontohkan dua tokoh dalam sejarah Islam yang dikenal taat dan hafal Al-Qur’an. Namun tersesat karena minim pemahaman dan kedalaman ilmu. Keduanya adalah Dzil Khuwaishir dan Ibnu Muljam.
Kiai Imjaz--sapaan untuknya menjelaskan Dzil Khuwaishir berani memprotes keadilan Rasulullah SAW dalam membagi harta ghanimah. Dzil Khuwaishir mendatangi Rasulullah dengan mengatakan: “Berlaku adil lah engkau, wahai Muhammad!”
Terang saja, perilaku yang kurang ajar semacam ini memancing kemarahan sahabat Umar dan sahabat lain. Sebab apa yang dilakukan Rasulullah pasti berdasarkan wahyu.
“Demikian juga Ibnu Muljam yang telah membunuh Sayyidina Ali dengan pedangnya secara kejam, hanya karena tuduhan sepihak. Di mata Ibu Muljam, Sayyidina Ali telah keluar dari Islam dan darahnya halal,” terangnya.
Keduanya itu, terang Kiai Imjaz memiliki kesamaan ciri-ciri yang perlu dijadikan pelajaran. Yakni manusia yang bersemangat mempelajari agama, tapi gagal mengalahkan kesombongan dalam jiwanya. Sehingga merasa paling benar.
“Mereka sombong karena pengetahuannya sempit dan dangkal. Mudah menghakimi orang lain sesat, tidak syar’i, dan kafir,” tegas beliau mewanti-wanti para santri.
Ciri lainnya, ada kesamaan fisik sebagai petunjuk betapa seriusnya mereka beribadah, namun tanpa ilmu yang memadai. “Badannya kurus karena sering puasa, janggutnya panjang, matanya cekung karena sering bangun malam, dan jidatnya hitam karena sering sujud,” papar Kiai Imjaz.
Karena itu, Kiai Imjaz mendorong agar santri yang telah menyelesaikan program tahfidz dan tarjamah, melanjutkan studi ke Timur Tengah. Di kampus-kampus yang memiliki kerja sama dengan Bina Insan Mulia. Memperluas dan memperdalam ilmu Al-Quran.
“Semua santri Bina Insan Mulia berkesempatan melanjutkan study ke Timur Tengah di jurusan keislaman maupun sains dan teknologi,” tegas beliau.
Di penghujung sambutannya, Pesantren Bina Insan Mulia ingin mencetak ulama’ yang moderat dengan ciri memiliki pemahaman keislaman yang mendalam dan luas, dan tetap rendah hati.
“Pembangunan Indonesia membutuhkan kontribusi dan intervensi ulama-ulama yang moderat yang kaya ilmu, toleran terhadap perbedaan dan kaya hati,” pungkasnya. (zen)